Tanpa Sanksi Jera, Korupsi Merajalela
Oleh: Trianon Wijanarti
(Aktivis Muslimah DIY)
Kasus korupsi di negeri ini semakin tak terkendali. Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka terkait perkara pengadaan mesin electronic data capture (EDC) dari 2020 sampai 2024 dengan nilai proyek Rp 2,1 triliun. Lima orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK mendapati bukti yang cukup adanya tindakan melawan hukum. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka di antaranya; CBH (Wakil Direktur Utama BRI), IU (Direktur Digital Teknologi Informasi dan Operasi BRI), DS (SEVP Management Aktiva dan Pengadaan BRI), EEL (PT PCS), dan RSK (PT BIT) (detiknews.com, 09/07/2025).
Dilansir dari laman antaranews.com, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan kerugian negara akibat praktik korupsi yang dilakukan tersangka lebih dari 744 miliar rupiah. Berdasarkan data tersebut, besaran kerugian negara mencapai 30% atau lebih dari nilai proyek.
Jika kita amati dari kasus tersebut, tersangka korupsi rata-rata merupakan pejabat pemerintahan, bahkan Direktur Bank plat merah dan beberapa jajarannya. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan korupsi terjadi bukan sebab keadaan yang berkekurangan. Korupsi seolah menjadi habit yang didorong oleh hawa nafsu keserakahan terhadap penguasaan harta, tanpa peduli harta milik siapa dan untuk kepentingan apa. Ironisnya, kasus-kasus keserakahan ini terjadi di tengah kebijakan efisiensi anggaran di beberapa sektor, termasuk layanan pemerintah yang menyasar hak dasar untuk kesejahteraan rakyat banyak.
Miris, korupsi di negeri ini seolah tidak pernah berakhir meskipun ada lembaga KPK, Kejaksaan, Polri, atau ICW. Bahkan, kasus korupsi yang sudah terungkap sebelumnya pun tidak ada kejelasan sanksi terhadap pelaku maupun teknis eksekusinya. Sanksi pidana tidak mampu membuat jera pelaku dan tidak dapat menjadi penangkal atau pencegah terhadap yang lain. Sehingga korupsi terjadi silih berganti dan kian merajalela di berbagai bidang di negeri ini.
Tidak dipungkiri, negara dengan sistem kapitalisme liberal yang mengusung politik demokrasi dalam pemerintahan telah gagal mencegah terjadinya korupsi meskipun banyak instansi yang disiapkan sebagai lembaga pemberantas dan pencegahan korupsi. Sebaliknya, justru membuka peluang adanya politik transaksional antara pemegang kekuasaan dengan pemilik modal besar, sehingga menyuburkan tindak korupsi. Inilah akibat pola pikir yang menjadikan kekuasaan bukan sebagai amanah dari Allah SWT. untuk mengurus dan menyejahterakan rakyat secara berkeadilan.
Tentu saja, hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dimana kekuasaan tertinggi terletak pada hukum syara'. Kepala negara (Khalifah) dan semua pejabat negara menjalankan pemerintahan berdasar tuntunan syariat Islam dan menjadikan kehidupan bernegara berasaskan pada akidah yang sarat dengan kebaikan untuk mewujudkan kemashlahatan rakyat secara keseluruhan dan berkeadilan.
Di samping itu, Islam juga memiliki aturan yang jika diterapkan secara totalitas akan melahirkan individu-individu yang bertakwa dan terhindar dari keserakahan hawa nafsu. Penguasa dalam sistem Islam tidak akan berbuat zalim pada rakyatnya, karena mereka paham akan pertanggungjawabannya kepada Allah Swt. di Akhirat kelak. Ditambah, penerapan sanksi dalam sistem Islam bersifat tegas dan menjerakan. Sejarah Islam membuktikan bahwa Islam pernah memimpin 2/3 dunia selama lebih dari 13 abad dengan masyarakat yang aman, sejahtera, dan berkeadilan.
Wallahu A'lam Bish Shawab