Islam Memandang Angka Kemiskinan Bukan Sekadar Angka Statistik

 



Penulis : Ika Kusuma


Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2025 mengalami penurunan 0,10 % dibanding dengan angka kemiskinan pada September 2024. Tercatat jumlah penduduk miskin pada 2025 adalah 23,85 juta orang, jumlah ini dinilai berkurang sebanyak 200 ribu orang jika dibandingkan angka kemiskinan pada 2024. Angka ini didapat berdasarkan batas garis kemiskinan sesuai survei sosial ekonomi nasional (Susenas),  yaitu Rp 609.160/kapita/bulan atau Rp 20.305/hari.

Namun sejumlah pengamat menilai data ini tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Yusuf Rendy Manilet, peneliti CORE Indonesia, menyebut jika angka kemiskinan di perdesaan memang mengalami penurunan. Ini karena mayoritas penduduknya adalah petani yang pendapatannya meningkat terkait naiknya  harga gabah dan komoditas  perkebunan, sedangkan untuk perkotaan, angka kemiskinan justru mengalami peningkatan akibat naiknya angka pengangguran dan badai PHK. (tirto.id, 26 Juli 2025).

Di atas kertas, angka kemiskinan memang mengalami penurunan, namun fakta di lapangan justru berkata sebaliknya. Batas yang digunakan untuk standar garis kemiskinan yang diadopsi dari Purchasing Power Parity (PPP) 2017, yakni sebesar RP 20.000/ hari terdengar kurang relevan dengan realitas hari ini di mana harga pangan dan bahan pokok lain terus mengalami lonjakan di tengah jumlah pengangguran yang juga terus meningkat.  Bahkan di beberapa daerah, Rp 20 ribu hanya cukup untuk satu kali makan, belum untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Jelas ini hanya manipulasi statistik saja sebab negara dengan sistem kapitalisme hanya peduli pada citra ekonomi, bukan realitas.

Sistem kapitalisme telah menimbulkan kesenjangan yang nyata dalam masyarakat. Kekayaan menumpuk di sejumlah elite saja, sedangkan lapangan pekerjaan makin sulit didapat sementara harga kebutuhan pokok terus meningkat. Belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan juga ikut melambung, makin membuat kehidupan ekonomi rakyat terhimpit.

Negara yang seharusnya menjadi pengurus rakyat dipaksa kehilangan fungsi utamanya dalam sistem ini.
Negara tak lebih hanya sebatas regulator kebijakan para penguasa. Di tengah gelombang pasar bebas dunia, negara tak mampu melindungi  hak-hak rakyatnya, justru negara tampil sebagai fasilitator bagi para pengusaha asing yang menguasai pasar bebas. Akibatnya, ekonomi rakyat terasa makin sulit dan menghimpit.

Jelas sudah kemiskinan tak hanya sekadar data statistik. Ketika masyarakat masih kesulitan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokoknya, berarti mereka masih dalam jerat kemiskinan.

Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan juga jauh dari akar masalah. Kebijakan populis dan terkesan hanya reaksi spontan dan tidak solutif tentunya. Semisal bantuan sembako murah ketika harga pokok melonjak, hal ini tak lantas menjadikan semua masyarakat mampu menjangkaunya karena ini juga bersifat sementara dan tidak merata.

Jika pun dikatakan kemiskinan di desa justru menurun karena harga komoditas pertanian dan perkebunan naik, faktanya hanya sebagian kecil penduduk desa yang memiliki lahan sendiri, selebihnya mereka hanya buruh lepas yang tentu tak terdampak meski harga komiditas naik. Hal ini juga diperparah aksi tengkulak yang seenaknya menentukan harga.

Sistem ekonomi kapitalis adalah akar masalah sesungguhnya dari kemiskinan struktural saat ini. Maka solusi yang tepat sudah seharusnya umat  lepas dari sistem kapitalisme sekular yang jelas menimbulkan kerusakan di berbagai lini.

Dalam kitab Nidhamul Islam, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa problematika umat muncul ketika umat mulai meninggalkan hukum-hukum Allah dan lebih memilih menerapkan hukum buatan manusia.
Dalam Islam, sistem pemerintahan Islam mengatur kehidupan umat secara terperinci dan cermat serta bukan berasal dari akal manusia yang terbatas, sebab sistem Islam menjadikan syariat Allah sebagai sumber nya. > Novi Yanti: Fakta sejarah telah mencatat kehidupan umat yang sejahtera bisa terwujud ketika sistem Islam diterapkan.
Sebab dalam Islam, negara berfungsi sebagai raa' in (pemelihara) sekaligus junnah (pelindung) bagi umatnya yang bertanggung jawab penuh  memenuhi segala kebutuhan umat, baik sandang, papan, pendidikan, dan juga kesehatan. Maka ketika dihadapkan pada masalah kemiskinan,  negara akan memastikan setiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mampu menafkahi keluarganya.
Hal ini sangat mungkin negara lakukan karena SDA yang ada dikelola negara tanpa bergantung pada asing dan  swasta. Dengan demikian, lapangan pekerjaan akan terbuka luas dan mudah diakses oleh setiap warga.

Sistem ekonomi Islam juga jelas melarang perputaran uang dalam sebagian orang atau kelompok saja. Islam melarang sebagian kelompok memonopoli perekonomian atas kelompok yang lain sehingga perekonomian bisa berjalan dengan baik di seluruh lapisan masyarakat

Islam juga tidak menghitung kemiskinan berdasarkan standar PPP buatan lembaga internasional, namun melihat dari pemenuhan kebutuhan pokok individu per individu sudah bisa terpenuhi dengan layak atau tidak.
Begitulah Islam mengatur kehidupan manusia dengan rinci, tidak hanya hubungannya dengan pencipta-Nya Allah SWT, namun juga dengan sesama karena Islam adalah ideologi yang paripurna, bukan sekadar agama ritual. Wallahualam.
[9/8 05.55] +62 852-8235-8383: *Kebijakan PPATK yang Dzolim*
Oleh Fenti

Kegaduhan terjadi beberapa waktu lalu, saat PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mengambil kebijakan berupa pemblokiran rekening dormant (pasif). Rekening dormant adalah rekening yang tidak memiliki transaksi baik penarikan, penyetoran maupun transfer dalam periode tertentu, umumnya 3 hingga 6 bulan.

Imbas dari kebijakan pemblokiran rekening dormant ini, di media sosial ramai dengan penarikan uang massal di masyarakat. Namun Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana menyanggah terkait penarikan uang massal, karena tidak ada laporan dari pihak perbankan.

Perbedaan pendapat akan kebijakan ini pun terjadi. Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Marcus Mekeng, tidak setuju dengan langkah PPATK memblokir rekening dormant dengan alasan sebagai upaya mencegah kejahatan keuangan, karena tidak ada landasan hukumnya. Pendapat yang sama dikatakan oleh Sekretaris Eksekutif YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Rio Priambodo, dikatakan bahwa pemblokiran rekening dormant oleh PPATK memicu sentimen publik yang khawatir akan keamanan keuangan. Rio adalah PPATK harusnya selektif dalam pemblokiran rekening, karena ada rekening yang diblokir itu adalah tabungan konsumen yang sengaja diendapkan untuk keperluan yang tak terduga atau akan digunakan dalam jangka waktu tertentu.

Lain halnya pendapat dari Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Dasco menyampaikan kebijakan pemblokiran rekening oleh PPATK adalah untuk melindungi terhadap rekening pasif ini dalam rangka memberantas judi online. Sebab rekening dormant tersebut kerap dijadikan untuk menampung transaksi judi online.

Pada akhirnya PPATK membatalkan pemblokiran terhadap 28 juta rekening dormant. Menurut analisis, pencabutan blokir jutaan rekening ini menunjukkan kebijakan ini bermasalah dari awal. Namun Kepala Biro Humas PPATK, Natsir Kongah menepis tudingan bahwa pembukaan kembali jutaan rekening dormant ini disebabkan ketidaktelitian PPATK dalam mengambil kebijakan.

Apabila pemerintah mau memberantas judi online, semestinya fokus memberantas situs judi online dan menangkap bandar judolnya. Pemblokiran rekening dormant bukanlah solusi yang tepat. Pemerintah juga apabila mau memblokir rekening yang terindikasi ke arah judol, tidak semua rekening dormant di blokir tanpa ada konfirmasi terhadap pemiliknya.

Dalam Islam pemblokiran rekening tanpa sebab adalah melanggar prinsip “Al-bara’ah al-asliyah (praduga tak bersalah), hal ini adalah perbuatan yang dzolim. Begitu juga dengan harta pribadi itu harus dilindungi dan dijamin dalam syariat Islam. > Novi Yanti: Rasulullah bersabda:
"Wahai manusia, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci, seperti sucinya hari ini (hari Arafah), di bulan ini (Dzulhijjah), di negeri ini (Makkah)…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Islam juga negara berfungsi sebagai ri’ayatush syu’un yaitu menjamin distribusi kekayaan dan keadilan, bukannya menjadi untuk melakukan tekanan-tekanan ekonomi.

Judi adalah kejahatan yang harus diberantas dan melanggar syariat Islam.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَا لْمَيْسِرُ وَا لْاَ نْصَا بُ وَا لْاَ زْلَا مُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَا جْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 90)

Allah SWT melarang judi, maka pemerintah wajib untuk mengupayakan tidak terjadinya judi dan memberikan sanksi kepada para pelaku judi dan bandarnya.

Apabila negara menjalankan aturan atau kebijakan yang ditetapkan berdasarkan aturan Allah, maka yang haq tetap senantiasa haq dan yang bathil adalah bathil.

Wallahualam

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel