Tanah Terlantar, Pengelolaan dan Hak Milik yang Salah Kaprah
Oleh. Nadia Ummu Ubay (Pegiat Literasi, Aktivis Muslimah Semarang)
Tanah terlantar merupakan tanah hak, atas pengelolaannya dan yang diperoleh berdasarkan penguasa penuh atas tanah, namun sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan dan tidak dipelihara.
Baru-baru ini diterbitkan kebijakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengatakan bahwa negara akan mengambil alih tanah terlantar yang dengan sengaja tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut. (kompas.com, 18/07/2025)
Beliau juga menegaskan bahwa penertiban yang ditujukan pada objek tanah terlantar dan pengambilalihan ini dilakukan mulai dari peringatan dengan surat, pemberian waktu dan kesempatan bagi pemilik hak untuk memanfaatkan kembali, jika tidak maka tanah akan diambil negara. Terlebih alat bukti kepemilikan seperti girik, vorpending dan bekas hak lama tidak lagi sebagai alat bukti milik atas tanah hanya sebagai petunjuk, berhak diambil negara. (CNN Indonesia, 14/07/2025)
Hak Milik Tak Bertuan, Sistem Kapitalisme Berkedok Pemanfaatan dan Cari Cuan
Atas banyaknya sengketa tanah yang marak terjadi sebab adanya lahan kosong lalu dipergunakan orang lain tanpa izin, yang mana seharusnya pemilik bisa menunjukkan tanda kepemilikan, maka ini masuk dalam objek penertiban yang harus dilakukan untuk diambil alih oleh negara. Benarkah dikelola negara untuk kebijakan yang merakyat atau justru sama terbengkalainya sehingga mangkrak dan tak bertuan jua?
Sebab faktanya selama ini, tanah dalam skema Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) justru lebih banyak dikuasai korporasi besar, sementara rakyat pada umumnya atau rakyat kecil kesulitan memiliki lahan, misal sebagai tempat tinggal, bertani, atau berdagang. Mengapa berbeda? Apakah asal ada uang bisa jalan, tak ada uang ditinggal dan dibiarkan merana?
Tanah bukanlah komoditas yang hanya sekedar pada pola pemanfaatan dan demi keuntungan saja, tapi tanah juga amanah publik. Artinya tidak hanya orang tertentu saja yang bisa menikmati dan memilikinya, tetapi semua. Jika memang diambil alih oleh negara maka dikelola dan untuk kemaslahatan bersama, tidak lagi bersekat dan dibedakan derajat sosialnya.
Sayangnya, sudah banyak pula tanah yang telah hak milik negara, tidak boleh tersentuh oleh rakyat biasa, tapi jika untuk kepentingan yang menguntungkan maka bisa dijalankan. Padahal tidak semua rakyat bisa berjaya, sedangkan untuk makan saja payah di negara yang katanya kaya sumberdaya.
Maka pengelolaan negara atas tanah terlantar yang dimaksudkan agaknya perlu dijelaskan kembali hak kepemilikan, antara milik negara, milik umum, atau milik individu. Tidak semua bisa dijadikan milik negara atas kuasanya saja. Negara juga harus menjamin kesejahteraan dan kemaslahatan semua rakyat tanpa tapi.
Sebab yang berkesudahan negara seringnya hanya menjadi fasilitator para kepentingan pemodal bukan pelindung rakyatnya. Jika pengelolaan tepat sasaran, dan keterbatasan rakyat dari pemanfaatan atas kepemilikan tanah kembali diperuntukkan bagi rakyat dan semua bisa memanfaatkan, maka tidak lagi menjadi perdebatan. Namun sengitnya penarikan tanah terlantar ini bisa berimbas pada celah pemanfaatan tanah oleh para oligarki yang banyak modal dan bisa mengalirkan cuan, sehingga pemanfaatan bisa balik modal.
Inilah realita gambaran negara yang berpegang pada sistem kehidupan ideologi kapitalisme. Modal seminimal mungkin untuk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak lagi berlaku keadilan yang ada hanya keamanan kantong pribadinya atau manfaat materi belaka. Kesenjangan yang dengan sengaja dibentuk, ada yang mendapat hak dan ada yang kehilangan haknya.
Peraturan yang dibuat oleh manusia memang agaknya akan selalu berujung kepada kerancuan dan kepentingan yang berkuasa saja. Demokrasi hari ini memfasilitasi kebebasan pembuat aturan di tangan penguasa namun lupa dengan kuasa Penciptanya. Potret buram kehidupan yang diatur berjalan di atas kepentingan manusia. Wajar kekhawatiran selalu ada ketika kebijakan ditetapkan, sebab negara tidak bisa memastikan akan memberikan hak penuh pada semua rakyatnya.
Pengelolaan tanah terlantar yang diambil pasti membutuhkan ketersediaan anggaran. Namun jika menilik realita, jauh panggang dari api. Kecuali jika negara menggandeng asing aseng atau para pemilik modal. Sebab, selain kenaikan pajak yang dibebankan kepada rakyat demi pemasukan negara, utang negara juga sudah membumbung tinggi melebihi singgasana. Tak terelakan lagi, semua serba mahal. Rakyat semakin tersiksa, negara tidak berdaya menjamin keadilan rakyatnya. Bagaimana jika harus ditambah mengelola tanah hasil sitaan agar tak terbengkalai? Namun, berkaca pada realita saja sudah pedih.
Tentu ketersediaan modal dan ketidakjelasan pemanfaatan atas tanah terlantar yang akan diambil alih negara, dapat memicu penyalahgunaan yang tidak tepat sasaran, lagi-lagi kesenjangan. Hanya para pemodal yang mampu menikmatinya, berputar di kalangan tertentu saja. Inilah yang tidak diinginkan rakyat. Sebab tanah menjadi sumber kehidupan, tidak hanya pemilik modal yang layak hidup berkecukupan, rakyat juga.
Namun, kapitalisme yang telah kuat menancap dalam dasar pengaturan bernegara ini menjadikan penguasa siapa pun orangnya tunduk kepada kepentingan investor dan para pemilik modal. Bahkan pengaturan kelola tanah itu sendiri, inilah yang dikhawatirkan.
Tanah dan Hak Milik Diatur Sempurna dalam Sistem Islam
Menilik kerancuan dan segala kebijakan yang sedang diujicobakan kepada rakyat hingga kelirunya hak kepemilikan, Islam mempunyai solusi sistemiknya. Sebab, Islam memang ideologi yang patut diterapkan dan diemban oleh negara, sejarah telah mencatatnya.
Bahwa ada negara Islam yaitu Khilafah yang peradabannya hampir menguasai 2/3 dunia. Dia terlupakan, padahal Barat mengakuinya. Dia pun ditinggalkan dan tidak dilirik sama sekali.
Islam memiliki pengaturan dasar yang jelas, bahwa kekuatan negara ada pada kemaslahatan rakyat dan juga kewibawaan negara tanpa bertekuk lutut kepada asing. Negara dalam Islam harus independen, kuat, dan ditakuti musuh yang berpotensi menghancurkan rakyat. Maka di dalamnya akan diatur sebagaimana syariat yang menjadi landasan, mulai dari ekonomi, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, bahkan pengaturan hak milik. Semua harus sesuai dengan syarak, adil bukan sama rata, namun bagaimana syariat mengaturnya.
Kepemilikan dalam negara Islam terbagi menjadi tiga macam yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Termasuk pengaturan tanah yang akan dikelola negara maka dengan catatan tidak boleh menyerahkan kepemilikan umum dalam negara untuk dikuasai asing atau individu tanpa batas.
Kepemilikan individu diantaranya: warisan, hadiah, gaji, harta, hibah. Kepemilikan umum meliputi : tanah, air, api, minyak bumi, dan tambang. Sedangkan kepemilikan negara antara lain : ghanimah, jizyah, fa'i, kharaj. Hak kepemilikan ini harus sesuai dengan porsinya. Tidak rancu dan tidak tumpang tindih.
Maka pengelolaan tanah terlantar yang diambil oleh negara ini murni dikelola negara tanpa bergantung pada pemilik modal dan tidak terbengkalai kembali. Jika diambil alih negara, maka akan digunakan untuk proyek strategis, demi kemaslahatan umat dan menyentuh kebutuhan rakyat secara sempurna.
Sehingga pemanfaatannya murni memang dikelola negara untuk rakyat secara utuh. Negara bisa mengelola untuk permukiman yang aman, pertanian, infrastruktur umum yang mudah dan murah tetapi memadai. Bukan dijual atau dikelola swasta, sehingga keuntungan hanya berputar pada kalangan tertentu saja. Sebab, tujuan utama pengaturan negara Islam bukan untuk laba atau cuan melainkan kesejahteraan dan keberkahan. Sehingga alam kita jaga, dan Allah memberikan rahmat-Nya atas kita. Negara Islam pengaturannya dilarang melakukan manipulatif harta atau kekayaan alam secara berlebihan.
Dalam buku Nizhamul Islam pembahasan rancangan undang-undang tentang sistem ekonomi dalam Islam disebutkan bahwa tanah mawaat atau terlantar dapat dimiliki dengan jalan membuka atau mengelola untuk menghidupkan pemanfaatan tanah. Bahkan setiap orang yang memiliki tanah diharuskan mengelola dan baitul mal memberikan modal kepada petani atau rakyat yang memiliki hak milik tanah agar bisa menggarap, jadi tidak asal mengambil haknya.
Pengaturan dalam Negara Islam tidak pernah mengambil keuntungan para penguasanya atau melakukan kecurangan demi keuntungan belaka. Namun, kembali kepada rakyat yang diriayah agar bisa mendapatkan haknya tanpa menzalimi.
Wallahualam bissawab.