Kecurangan Beras Oplosan Tumbuh Subur dalam Sistem Kapitalisme.
Oleh: Qomariah (Muslimah Peduli Generasi).
Kecurangan tumbuh subur dalam sistem sekuler kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Kapitalisme mengajarkan sikap materialistis, yaitu melakukan segala hal demi memperoleh keuntungan materi sebesar - besarnya.
Fenomena pengoplosan bahan pangan kembali menyeruak, di mana makanan pokok masyarakat yang menjadi sasaran. Menteri pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar bahkan sampai di rak supermarket dan minimarket dikemas seolah-olah premium. Tapi kualitas dan kuantitasnya menipu.
Hal ini menjadi sebuah keprihatinan serius di sektor pangan nasional, temuan tersebut merupakan hasil investigasi kementerian pertanian (Kementan), bersama satgas pangan yang menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu.
Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan"5 kg, padahal isinya hanya 4,5 kg. Lalu banyak diantaranya mengklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa.(Mantan) Menegaskan, praktik semacam ini menimbulkan kerugian luar biasa hingga Rp 99 triliun per tahun, atau hampir Rp 100 triliun jika dipertahankan.
Contohnya; ada volume yang mengatakan 5 kg padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86% mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa. Artinya apa? 1 kilo bisa selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kg."ujarnya dalam video yang diterima kompas.com. (Sabtu, 12/7/2025).
Setelah heboh minyak oplosan, kini muncul lah beras oplosan. yaitu, beras merk premium, tetapi isinya beras biasa. Fakta ini mengejutkan masyarakat karena beras adalah komoditas yang dikonsumsi setiap hari oleh mayoritas orang Indonesia. Artinya hampir semua orang Indonesia menjadi korban.
Apalagi praktek kecurangan beras ini sudah berlangsung bertahun-tahun. baik dalam timbangan dan kualitas jenis, sudah terjadi begitu lama. Masyarakat dan negara menderita kerugian besar. Sungguh miris, pelakunya adalah perusahaan besar, dan negara sudah memiliki regulasi.
Bahwa Praktek kecurangan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama. Karena semua demi keuntungan, bahkan hingga menghalalkan yang haram dan melanggar regulasi itu sendiri. Hal yang dianggap biasa dalam sistem sekuler kapitalisme.
Sungguh miris, bagaimana negara bisa kecolongan hingga terjadi kecurangan semasif ini? Jumlah 212 merk itu bukan jumlah kecil. Apalagi pelakunya adalah pemain besar dengan produksi masif dan distribusi luas. Apakah selama ini memang pemerintah tidak memiliki data sama sekali tentang kecurangan yang terjadi? Ataukah dugaan itu sebenarnya ada, tetapi menguap begitu saja?
Sebenarnya negara sudah memiliki regulasi untuk mencegah terjadinya kecurangan. Namun, para pengusaha kapitalis mengabaikan regulasi ini.
Berbagai kasus kecurangan yang terjadi di negeri ini, sebagai akibat dari keserakahan manusia (pengusaha), yang ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara tanpa peduli halal- haram. Yakni, tanpa mengindahkan aturan agama (syariat).
Kecurangan ini tumbuh subur dalam sistem sekuler kapitalisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Bahkan kapitalisme mengajarkan sikap materialistis, ya itu melakukan segala hal demi memperoleh keuntungan materi sebesar-besarnya, hingga menghalalkan yang haram dan melanggar regulasi pemerintah.
Berlarutnya persoalan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan juga sistem sanksi. Negara juga lemah dalam mewujudkan efek jerah bagi pelaku industri yang melakukan praktik curang, karena sanksi yang ringan. Mendapatkan sanksi pidana penjara hingga 5 tahun, atau denda maksimal Rp 2 miliar.
Ini merupakan sanksi yang sangat ringan, jika dibandingkan dengan besarnya kerugian akibat perbuatan mereka yang mencapai hampir Rp100 triliun per tahun.
Tumbuh suburnya praktik bisnis curang juga disebabkan negara gagal mewujudkan sistem pendidikan yang mencetak generasi yang amanah dan bertakwa. Akibatnya, lahirlah pengusaha yang menghalalkan segala cara.
Tidak menutupi kemungkinan kriminal para pengusaha tersebut, mendapatkan sokongan dari oknum-oknum pejabat yang juga menghalalkan segala cara, demi memperoleh keuntungan pribadi. Akhirnya, pengusaha maupun penguasa sama-sama berbuat curang dan menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan materi.
Sungguh miris, pemerintah tidak bisa bersikap tegas. Pemerintah hanya mampu mengambil jalan Tengah. yaitu, memberi waktu tenggang bagi korporasi untuk menurunkan harga beras premium. Ini akibat lemahnya posisi negara dihadapan korporasi, pengawasan dan penegakan sanksi terhadap korporasi yang berbuat curang menjadi mandul. Ini merupakan potret negara sekuler kapitalis yang hanya menjadi regulator dan fasilitator sehingga abai terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat.
Hanya dalam sistem Islam, penguasa memposisikan sebagai pengurus urusan rakyat (raa'in).
Rasulullah SAW bersabda;"imam (Khalifah) itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap Gembalaannya."(HR. Bukhari dan Muslim).
Ketersediaan beras bagi rakyat merupakan urusan strategis negara karena menentukan ketahanan pangan.
Rasulullah SAW bersabda;"barang siapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya."(HR.Tirmidzi).
Solusi Hakiki yang akan memastikan ketersediaan pangan bagi tiap-tiap individu rakyat. Yaitu, (Khilafah). Pangan harus dipastikan tersedia dalam jumlah cukup, mudah diakses, dan harganya terjangkau.
Jadi negara tidak hanya memastikan jumlah pasokan, tetapi juga distribusi hingga beras tersebut dikonsumsi oleh konsumen (rakyat).
Khilafah juga memberikan kemudahan akses terhadap benih, pupuk, pestisida (untuk digunakan dalam jumlah yang aman), dan semua sarana produksi pertanian (alat mesin dan lain-lain).
Khilafah akan menerjunkan para penyuluh pertanian dalam jumlah cukup untuk membimbing para petani, agar menggunakan teknik bertani yang efektif dan efisien sehingga meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Insyaallah.
Wallahu a'lam bishawab.