KEGAGALAN NEGARA MELINDUNGI HAK ANAK

 



Oleh: Surni


Ironi kasus penjualan bayi dari Jawa Barat ke Singapura seharusnya membuka mata terhadap berbagai persoalan krusial. Ini bukan sekadar persoalan hukum, melainkan juga menyangkut administrasi kependudukan, kerja sama penegakan hukum antarnegara, serta edukasi bagi perempuan yang rentan menjadi korban. Semua aspek ini membutuhkan perhatian serius dan komitmen kuat dari negara.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang periode 2021–2024 terdapat 155 pengaduan terkait penculikan, perdagangan, dan penjualan bayi. Latar belakang kasus-kasus ini beragam, mulai dari tindakan orang tua secara sengaja hingga perempuan korban kekerasan seksual yang kebingungan dan tidak mendapatkan perlindungan. Tak sedikit dari mereka adalah perempuan yang minim pengetahuan tentang kesehatan dan pendidikan seksual (Kompas.com, 18 Juli 2025).

Salah satu kasus yang menghebohkan terjadi pada tahun 2024. Sebelas ibu hamil dan empat bayi ditemukan di sebuah tempat yang mengaku sebagai yayasan. Namun kenyataannya, tempat tersebut adalah penampungan ilegal yang memperdagangkan bayi. Para ibu dijanjikan tempat tinggal dan fasilitas persalinan gratis, tetapi setelah melahirkan, bayi mereka dijual dengan harga sekitar Rp45 juta (Tempo.com,17/9/2024 ).

Kejadian ini menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan sosial di tengah masyarakat. Banyak perempuan muda dan anak-anak tidak mendapatkan edukasi yang layak, terutama terkait kesehatan reproduksi. Negara gagal menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Akibatnya, pihak-pihak tidak bertanggung jawab memanfaatkan kondisi ekonomi yang lemah untuk mengeksploitasi mereka.



Kemiskinan Struktural: Akar Masalahnya


Kemiskinan yang melatarbelakangi praktik jual beli bayi bukanlah persoalan individual semata, melainkan lahir dari sistem ekonomi yang timpang dan tidak adil. Dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini, negara tidak lagi berfungsi sebagai pelindung rakyat secara menyeluruh, melainkan lebih sering menjadi pelayan bagi kepentingan segelintir elite dan korporasi besar.

Dalam sistem ini, penguasaan atas sumber daya alam seperti tanah, air, energi, dan hasil tambang dikuasai oleh kelompok kecil pemodal, baik lokal maupun asing. Rakyat hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri, tanpa akses yang adil terhadap kekayaan tersebut. Padahal, sumber daya itu seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Akibatnya, kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan listrik hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar mahal. Sementara itu, rakyat miskin semakin terpinggirkan. Ketimpangan ekonomi ini memperlebar jurang sosial antara si kaya dan si miskin. Mereka yang tidak memiliki akses ekonomi sering kali tidak memiliki pilihan lain selain mengambil jalan terjal dan penuh risiko.

Negara yang seharusnya menciptakan sistem ekonomi yang adil justru berperan sebagai fasilitator kepentingan pasar bebas. Lapangan kerja yang layak dan bergaji cukup tidak tersedia secara merata. Banyak laki-laki yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga kehilangan pekerjaan atau hanya bekerja serabutan tanpa jaminan. Perempuan pun akhirnya terpaksa ikut bekerja demi menopang kebutuhan keluarga, bahkan dalam kondisi yang penuh tekanan.

Dalam situasi semacam ini, sebagian orang, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, terdesak hingga mengambil jalan yang melanggar hukum bukan karena mereka tidak bermoral, tetapi karena sistem yang menekan dan menyingkirkan mereka dari peluang hidup yang layak. Menjual bayi bukanlah pilihan rasional, melainkan keputusasaan akibat sistem yang gagal menjamin hak dasar rakyat.

Maka, kemiskinan tidak bisa lagi hanya dianggap sebagai akibat dari malas bekerja atau kegagalan individu. Ia adalah hasil dari struktur ekonomi yang menindas, di mana hak-hak dasar manusia diperdagangkan dan kehidupan manusia dinilai berdasarkan kemampuan membeli, bukan kebutuhan untuk hidup bermartabat.



Peran Negara dalam Melindungi


Negara seharusnya tidak hanya menjadi pengatur urusan administrasi, tetapi benar-benar hadir untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Negara wajib menjamin keamanan, keadilan sosial, dan pemenuhan hak-hak dasar seluruh warganya, termasuk anak-anak dan perempuan.

Kasus jual beli bayi merupakan bukti nyata kegagalan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya. Kelemahan penegakan hukum, hilangnya kontrol terhadap sindikat kejahatan, serta lunturnya nilai-nilai agama dan kemanusiaan dalam masyarakat menjadi penyebab utama.

Solusi yang dibutuhkan bukan sekadar proyek sesaat, melainkan perubahan sistemik. Ini mencakup pembangunan akidah (keyakinan) yang kuat, penegakan hukum yang adil, dan pembentukan sistem kehidupan yang berdasarkan nilai-nilai agama yang luhur. Pemerintah harus mengambil langkah tegas: memperkuat institusi keluarga, menyediakan pendidikan yang layak, membuka lapangan kerja, dan membasmi sindikat perdagangan manusia.

Tanpa langkah berani dan perubahan mendasar, tragedi semacam ini akan terus terulang, dan generasi mendatang akan terus menjadi korban dari sistem yang gagal.



Islam: Solusi Hakiki


Islam menawarkan solusi menyeluruh terhadap seluruh permasalahan hidup. Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah, tetapi juga mencakup sistem ekonomi, sosial, politik, dan keluarga. Dalam sistem Islam, negara memikul tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat.

Islam sangat menjunjung tinggi martabat perempuan, bukan sebagai alat pencari nafkah, tetapi sebagai pendidik generasi masa depan. Rasulullah saw. bersabda:

 "Perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia bertanggung jawab atas rumah tangganya."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Islam, perempuan tidak dipaksa bekerja keras demi mencukupi kebutuhan ekonomi. Islam menjaga perempuan agar dapat menjalankan peran utamanya dalam mendidik dan membina keluarga. Namun, dalam sistem kapitalisme, perempuan sering kehilangan peran ini karena tekanan ekonomi yang memaksa mereka mencari penghasilan.

Islam juga membangun masyarakat yang berakhlak dengan menerapkan hukum yang adil. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman:

 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.”

(QS. An-Nahl: 90)


Islam tidak hanya mendidik dengan nilai-nilai moral, tetapi juga memberikan sanksi hukum yang tegas bagi pelanggaran, untuk menjaga tatanan masyarakat tetap bersih dan bermartabat.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali kepada Islam secara menyeluruh tidak hanya dalam ibadah pribadi, tetapi juga dalam sistem kehidupan. Hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), keadilan sejati dan perlindungan hak rakyat, termasuk anak-anak dan perempuan, dapat benar-benar terwujud.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel