Menyoal Perlindungan Perempuan dan Anak di Era Digital Oleh

 


Fatinah Rusydayanti (Aktivis Muslimah)


Hidup di era pesatnya perkembangan teknologi digital, memanglah memberikan berbagai kemudahan dalam hidup kita. Dulunya, komunikasi jarak jauh butuh usaha lebih, kini cukup dalam genggaman dan ketikan jari, kita sudah bisa menjangkau komunikasi hingga ke negeri nan jauh dimata. Namun, dibalik berbagai manfaat tersebut, terdapat ancaman serius, terutama bagi perempuan dan anak-anak. 

Data menunjukkan bahwa penggunaan gawai di Indonesia semakin masif, bahkan di kalangan usia dini. Fenomena ini memunculkan berbagai persoalan, mulai dari paparan konten negatif hingga meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender di ruang digital.

Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), media sosial kini menjadi salah satu sumber pengaruh terbesar terhadap kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Bagaimana tidak? Konten-konten yang sarat kekerasan, pornografi, dan perilaku menyimpang dengan sangat mudah diakses tanpa filter yang memadai. Mulai dari sosial media hingga game mobile yang dirancang untuk anak, tak luput dijadikan sarana bagi predator. Anak-anak yang belum memiliki kemampuan berpikir kritis kerap menjadi korban predator siber yang memanfaatkan celah keamanan digital.

Disisi lain, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menyoroti ancaman serius akibat penggunaan gawai yang berlebihan di kalangan remaja. Jika tidak diatasi, fenomena ini berpotensi menghambat lahirnya generasi emas 2045 yang diharapkan mampu membawa kemajuan bangsa. Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang, justru bisa berubah menjadi bencana jika kualitas generasi muda menurun akibat dampak negatif dunia digital.  (Antara.Com/17/7/2025).


 *Negara hanya Memberi Solusi Parsial* 


Sayangnya, negara belum memberikan perlindungan nyata yang komprehensif. Kebijakan yang ditawarkan hanyalah kebijakan yang parsial, lebih menekankan aspek teknis daripada melindungi nilai moral dan akhlak generasi, kebijakan jangka pendek yang hanya mengatasi gejala tidak mencari solusi hingga ke akarnya.  

Arus digitalisasi yang diharapkan membawa banyak keuntungan materi, seringkali membuat aspek keselamatan anak-anak luput dari perhatian. Ketika negara berorientasi pada keuntungan ekonomi semata, keselamatan rakyat menjadi nomor dua. 

Inilah konsekuensi dari kehidupan berbasis sekuler dan kapitalistik, yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan. Penggunaan teknologi tanpa ilmu dan iman menimbulkan dampak buruk yang tak terelakkan. Sistem pendidikan sekuler juga gagal menanamkan pondasi keimanan yang kokoh, sehingga anak-anak mudah terpengaruh oleh arus digital yang bebas nilai. Rendahnya literasi digital bersatu padu dengan lemahnya pemahaman akan keimanan menjadikan mereka rentan terhadap pengaruh negatif.


 *Peran Negara* 


Negara memiliki kewajiban untuk bertindak tegas. Negara dengan kekuasaannya mestilah membuat kebijakan yang menuntaskan hingga ke akar permasalahannya dan bersifat jangka panjang. Bukan hanya sekedar menindak pelaku ketika sudah terjadi suatu perkara, tetapi juga memberantas penyebab seseorang bisa menjadi predator. 

Peran negara di ajaran Islam adalah ia sebagai junnah (pelindung dan penjaga rakyat) sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya imam itu adalah perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, negara wajib melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman, termasuk ancaman di dunia maya. Perlindungan ini tidak cukup hanya dengan regulasi teknis, tetapi juga harus dibarengi dengan penerapan sistem yang mampu menjaga moral dan akhlak masyarakat. Masyarakat melalui pendidikan dan edukasi lainnya dipahamkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai manusia dan Hamba Allah. Juga dibarengi dengan hukum dan sanksi yang tegas yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan menjadi pelajaran untuk yang lainnya untuk tidak ikut melakukan hal yang sama.

Dalam sistem Islam, perlindungan tersebut diwujudkan secara menyeluruh melalui penerapan syariat. Negara Islam akan memberikan arahan yang jelas terkait pengembangan teknologi, termasuk dunia siber. Teknologi tidak akan dibiarkan berkembang tanpa kendali, apalagi hanya berorientasi pada keuntungan materi. Sebaliknya, teknologi akan diarahkan untuk kemaslahatan umat, menjaga kehormatan manusia, serta mendukung tercapainya keselamatan dunia dan akhirat.

Selain itu, negara Islam akan memastikan bahwa ruang digital bebas dari konten yang merusak akhlak, seperti pornografi, kekerasan, dan hoaks. Literasi digital akan ditanamkan melalui sistem pendidikan berbasis iman dan takwa, bukan sekadar kemampuan teknis. Anak-anak tidak hanya dibekali kemampuan mengakses teknologi, tetapi juga pemahaman tentang bagaimana menggunakannya sesuai syariat. Dengan demikian, mereka memiliki benteng keimanan yang kokoh untuk menghadapi godaan dunia maya.

Lebih jauh, kemandirian teknologi akan menjadi prioritas, sehingga negara tidak bergantung pada perusahaan teknologi asing yang bisa mengendalikan data dan informasi strategis. Negara Islam akan mengembangkan infrastruktur teknologi sendiri, termasuk perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan komunikasi. Hal ini penting agar kedaulatan informasi benar-benar berada di tangan umat Islam, bukan pihak asing.

Kesimpulannya, persoalan keamanan siber bagi perempuan dan anak bukan sekadar masalah teknis, tetapi masalah sistemik yang berakar pada paradigma sekuler kapitalistik. Selama sistem ini masih bercokol, ancaman terhadap generasi tidak akan pernah hilang. 

Oleh karena itu, solusi hakiki terletak pada perubahan mendasar, yaitu penerapan sistem Islam yang mampu melindungi rakyat secara menyeluruh. Dengan tegaknya Khilafah, negara akan benar-benar berperan sebagai pelindung, memastikan kemuliaan manusia terjaga, serta mengarahkan pengembangan teknologi untuk kebaikan, bukan kerusakan.  Wallahu ‘Alam Bishowab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel