Menjawab Panggilan Peradaban, Merdeka Tak Berhenti di Batas Negeri
Oleh : Arista Indriani
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa ini selalu merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita. Bendera dikibarkan, lagu perjuangan dinyanyikan, lomba digelar, dan euforia menyelimuti seluruh negeri. Namun,pertanyaan besar tetap menggema di hati: apakah kemerdekaan kita hanya sebatas simbol, ataukah sudah menjelma menjadi substansi yang membangun peradaban?
Merdeka sejatinya bukan hanya bebas dari penjajahan fisik. Lebih jauh, merdeka adalah terlepas dari dominasi pemikiran, budaya, hingga sistem yang menjauhkan umat dari Rabb-nya. Itulah sebabnya, visi kemerdekaan tak boleh berhenti pada batas geografis sebuah negeri. Kemerdekaan sejati adalah kebebasan umat untuk menunaikan perannya sebagai khalifah Allah di bumi,menegakkan keadilan, dan menghidupkan peradaban Islam. Hari ini kita menyaksikan luka besar di Gaza. Anak-anak gugur bukan karena berperang, tetapi ketika menunggu sepotong roti di depanklinik. Dunia internasional kembali bungkam, bahkan pelapor PBB yang mengungkap kebenaran dihukum dengan sanksi. Semua ini menunjukkan bahwa genosida masih terjadi, dan kemerdekaan mereka direbut dengan cara yang paling keji. Maka, apakah pantas kita larut dalam euforia, sementara saudara kita masih terjajah?
Di sinilah pentingnya menyambungkan kemerdekaan Indonesia dengan panggilan peradaban umat. Kita tak bisa berhenti pada nasionalisme
sempit, sebab visi Islam selalu melampaui batas negeri. Kemerdekaan kita adalahamanah untuk berkontribusi membangkitkan umat, agar kelak dunia menyaksikan kembali keadilan dan rahmat dari peradaban Islam.
Dan di antara peran terbesar itu adalah mendidik generasi. Pendidik bukan sekadar pengajar, tetapi pembentuk arah. Dari kelas-kelas sederhana di Sekolah, hingga di rumah, lahirlah anak-anak yang kelak akan mengisi sejarah. Di pundak merekalah kemerdekaan hakiki akan tegak. Tugas kita adalah menanamkan pada mereka, bahwa kemerdekaan bukan hanya perayaan setahun sekali, tetapi jalan panjang menuju terwujudnya janji Allah:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, dan menjadikan mereka pemimpin, serta menjadikan mereka pewaris bumi.” (QS. Al-Qashash: 5).
Kemerdekaan sejati mestinya tidak cukup diabadikan dalam lomba dan upacara, tetapi harus ditanamkan dalam visi generasi. Visi yang membuat mereka sadar, bahwa perjuangan bangsa ini akan mencapai puncaknya bukan ketika kita berdiri sendiri sebagai negara, tetapi ketika kita menyambung diripada peradaban umat yang satu.
Maka wahai para pendidik, wahai para orang tua santri, mari menjawab panggilan peradaban ini. Kita tidak hanya dititipi anak-anak untuk diajari membaca, berhitung, atau menghafal, tetapi untuk dibentuk menjadi pejuang. Pejuang yang kelak mampu mengisi kemerdekaan dengan arah yang benar, bukan sekadar mengikuti arus zaman. Indonesia telah merdeka. Kini saatnya kita memerdekakan umat dari belenggu penjajahan yang sesungguhnya. Merdeka dari hegemoni Barat,dari sekularisme, dari individualisme, dari sistem yang mengekang umat dari
Rabb-nya. Sebab kemerdekaan yang sejati hanyalah ketika Islam kembali memimpin dunia.
Dan perjalanan itu dimulai dari kita. Dari pena yang menulis kebenaran, dari lisan yang menyeru pada dakwah, dari hati yang teguhmenjaga iman, dan dari ruang-ruang belajar tempat generasi ditempa.
Karena merdeka tak berhenti di batas negeri. Merdeka adalah menjawab panggilan peradaban.