Nasib Pilu Gaza: Antara Pembungkaman Media dan Panggilan Peradaban

 


Oleh : Arista Indriani

‎Deru bom dan dentuman senjata di Gaza kini beriringan dengan jerit perempuan dan tangis anak-anak. Bukan hanya nyawa rakyat sipil yang direnggut, tetapi juga nyawa para jurnalis yang berjuang menyiarkan kebenaran. Lima jurnalis Al-Jazeera tewas diterjang rudal Zionis, sebuah peristiwa yang seakan hendak memberi pesan: dunia harus buta dan tuli terhadap genosida di Palestina.

‎Namun, apa yang hendak dibungkam itu justru semakin lantang. Kematian mereka menyingkap wajah asli Zionis: brutal, tidak berperikemanusiaan, dan melawan semua aturan hukum internasional. Jika jurnalis yang membawa pena saja dibantai, bagaimana dengan rakyat jelata yang tak punya daya?

‎PBB, lembaga internasional, tokoh dunia, hingga media besar pun ramai-ramai mengutuk. Bahkan sebagian warga “Israel” di Tel Aviv turun ke jalan menyerukan diakhirinya perang. Tetapi, semua kecaman itu seakan tak lebih dari desah tanpa tenaga. Zionis tetap melaju dengan ide gilanya: merelokasi rakyat Gaza, seolah-olah tanah itu bukan milik umat Islam yang dijanjikan Allah keberkahannya.

‎*Diamnya Penguasa Muslim*

‎Di tengah kebrutalan ini, luka terbesar justru lahir dari sikap penguasa negeri-negeri Muslim. Mereka tetap diam, tetap enggan mengirim pasukan, seakan nyawa dan kehormatan umat di Gaza bukan bagian dari tubuh mereka sendiri. Inilah pengkhianatan terbesar: ketika saudara seiman disembelih, mereka sibuk menjaga kursi kekuasaan dan harta dunia. Nasionalisme sempit menjerat, cinta dunia dan takut mati membutakan hati.

‎Padahal Rasulullah ﷺ telah menegaskan bahwa umat ini seperti satu tubuh: jika satu bagian terluka, seluruhnya merasakan sakit. Tetapi, mengapa tubuh besar umat Islam kini seperti lumpuh, tak mampu menggerakkan tangan untuk menolong saudaranya di Gaza

‎*Esensi yang Tak Bisa Dibungkam*

‎Pembunuhan jurnalis tak akan pernah bisa memadamkan perjuangan rakyat Gaza. Setiap nyawa yang tumpah justru menyuburkan kesadaran umat bahwa perjuangan ini bukan sekadar perebutan tanah, tetapi perjuangan menjaga kehormatan Islam dan menunaikan janji Allah atas bumi yang diberkahi.

‎Allah telah memuliakan mereka yang berjuang di jalan-Nya. Maka, rakyat Gaza memahami benar bahwa kematian mereka bukan kehinaan, melainkan kemuliaan. Sementara kita di luar Gaza dituntut untuk menjawab panggilan iman: apakah kita akan tetap jadi penonton, atau akan ikut bergerak dalam barisan perjuangan?

‎*Jalan Keluar: Jihad dan Khilafah*

‎Fakta hari ini telah berbicara:

‎1. Kecaman internasional tak mampu menghentikan genosida.

‎2. Diplomasi dan seruan damai tak menghentikan pembantaian.

‎3. Hanya kekuatan nyata yang bisa menahan agresi Zionis.

‎Dan kekuatan itu tak lain adalah jihad fi sabilillah dalam kepemimpinan yang sah: Khilafah. Bukan sekadar gagasan utopis, tetapi konstruksi syariat yang pernah membebaskan Palestina dari cengkeraman salibis, dan kelak akan kembali membebaskannya dari penjajahan Zionis.

‎Maka, kewajiban kita hari ini bukan hanya berdoa, tetapi juga menghidupkan kesadaran umat, mengobarkan dakwah, dan menyatukan langkah dalam perjuangan menegakkan Khilafah. Sebab hanya dengan itu, darah syuhada tidak tumpah sia-sia, dan jerit anak-anak Gaza menemukan jawaban nyata.

‎Sejarah akan mencatat dua jenis manusia: Mereka yang diam ketika Gaza berlumuran darah. Dan mereka yang menjawab panggilan peradaban, menyiapkan diri untuk jihad, dan mendukung tegaknya Khilafah.

‎Pilihan ada di tangan kita. Karena Gaza bukan sekadar Palestina. Gaza adalah cermin iman, yang menguji apakah kita sungguh-sungguh merdeka atau masih terpenjara oleh dunia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel