“Kaya Tambang, Miskin Lapangan Kerja: Saatnya Ubah Arah Ekonomi Kalsel”
Oleh: Shifwah
Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menggelar rapat kerja bersama Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalsel untuk membahas program kerja tahun 2026 yang difokuskan pada upaya mengurangi angka pengangguran.
Kepala Disnakertrans Provinsi Kalsel, Irfan Sayuti, S.Sos., M.Si. menyebutkan bahwa hingga 2025 jumlah pengangguran di Kalsel mencapai sekitar 88.000 orang (https://dprdkalselprov.id/komisi-iv-dprd-kalsel-bahas-program-kerja-2026-bersama-disnakertrans-untuk-tekan-pengangguran/ 11-08-2025). Ini bukan sekedar angka, sebab di balik statistik itu terdapat keluarga-keluarga yang tertekan secara ekonomi dan sosial. Pengangguran di Kalimantan Selatan (Kalsel) merupakan konsekuensi dari struktur ekonomi yang rapuh: bertumpu pada tambang, minim hilirisasi, serta tidak selaras antara pendidikan dan kebutuhan produksi.
Dominasi sektor pertambangan memang mendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas kertas, tetapi sifatnya padat modal dan teknologi, sehingga serapan tenaga kerja tetap terbatas. Lahan produktif beralih fungsi menjadi konsesi tambang, sementara pertanian rakyat dan UMKM yang mestinya menjadi tulang punggung penyerap kerja semakin tersisih. Akibatnya, pendapatan masyarakat tidak stabil, kemiskinan baru bermunculan, dan tekanan sosial makin nyata.
Selama sumber daya alam dikelola dengan logika kapitalistik, yaitu rente korporasi di hulu dan privatisasi hasil alam, maka penyerapan tenaga kerja luas akan terus tertahan.
Negara yang seharusnya menjadi pengelola, di sistem seperti ini hanyalah berperan sebagai pemberi izin dan regulator, bukan pengelola langsung SDA.
Posisi tersebut melahirkan distorsi: keuntungan besar hanya terkonsentrasi pada korporasi, sementara masyarakat lokal hanya menerima sedikit limpahan.
Islam dengan aturannya yang sempurna menawarkan arsitektur berbeda. Dalam pandangan syariah, tambang besar, energi, air, dan hutan adalah milik umum yang haram diswastakan. Negara wajib mengelola langsung kekayaan ini, memastikan surplus hasilnya masuk ke kas publik, untuk kemudian membiayai layanan dasar, pembangunan industri, dan kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, SDA benar-benar menjadi penopang hidup masyarakat, bukan sekadar angka pertumbuhan ekonomi.
Hal ini menjadikan Islam sebagai jalan keluar yang nyata bagi pembangunan ekonomi. Hilirisasi tidak hanya jargon, tetapi benar-benar dilakukan agar kekayaan alam memberi nilai tambah di tanah air, bukan lari ke luar negeri. Industri pengolahan dibangun dan terhubung langsung dengan sumber daya alam dan pertanian rakyat, sehingga hasil bumi kita bisa diolah sendiri dan membuka lapangan kerja luas. Reforma agraria syariah memastikan lahan dikelola adil oleh petani, bukan dikuasai segelintir pihak. Sistem pendidikan pun diarahkan untuk mencetak generasi yang terampil dan amanah, bukan sekadar pemburu ijazah. Ditambah dengan pasar yang bersih dari riba dan monopoli, roda ekonomi rakyat akan bergerak sehat, adil, dan berdaya saing. Dengan begitu, kemandirian ekonomi bukan lagi sekadar mimpi, tetapi bisa menjadi kenyataan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Islam juga menegaskan bahwa laki-laki berkewajiban menafkahi keluarganya. Karena itu, negara dalam sistem Islam hadir memastikan setiap kepala keluarga memiliki akses pada pekerjaan atau alat produksi. Ini bukan sekadar program bantuan sesaat, tetapi amanah syar’i yang harus dijalankan. Dengan tata kelola ini, pengangguran tidak hanya ditekan di laporan statistik, melainkan dihapus dari realitas hidup keluarga-keluarga Kalsel. Inilah jalan keluar hakiki dari paradoks negeri kaya SDA tapi miskin lapangan kerja: kembali pada sistem yang menempatkan kekayaan sebagai amanah publik, bukan komoditas korporasi.
Dengan demikian krisis pengangguran di daerah kaya tambang menunjukkan cacat mendasar dalam sistem kapitalistik yang menempatkan negara hanya sebagai fasilitator korporasi. Islam menghadirkan solusi struktural: SDA sebagai milik umum, hilirisasi berbasis lokal, reforma agraria syariah, pendidikan kerja amanah, serta pasar tanpa riba dan monopoli.
Inilah arsitektur ekonomi yang mampu mengubah pertumbuhan semu menjadi penyerapan kerja riil, menyejahterakan masyarakat secara luas dan berkelanjutan.