Living Together: Kerusakan Tatanan Sosial
Indriani, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Dilansir dari laman validnews.id, budaya kohobitasi atau "living together" tanpa ikatan pernikahan menjadi sebuah fenomena gaya hidup generasi saat ini. Alasannya banyak faktor, dari belum siap berlanjut ke jenjang serius sampai pertimbangan finansial, seperti efisiensi biaya hidup dan kebutuhan pokok. Disampaikan pula pandangan seorang psikolog terkait fenomena tadi, seperti dalam komitmen, waktu kesepakatan dari kedua belah pihak, sampai resiko berkelanjutan.
Membedah istilah kohabitasi adalah suatu pengaturan dimana dua orang yang tidak menikah tinggal bersama dalam suatu hubungan yang intim dan/atau komitmen, baik sebagai pasangan romantis maupun tidak, yang diartikan sebagai "hidup bersama tanpa ikatan perkawinan" atau "kumpul kebo". Fenomena ini dapat memiliki implikasi hukum, termasuk dalam konteks kontrak properti dan keuangan, serta dalam beberapa sistem hukum dapat dikenakan sanksi pidana, seperti yang diatur dalam KUHP baru di Indonesia.
Kehidupan Islam yang khas dengan pengaturan sosial tentunya sangat berbenturan dengan fenomena sosial kohabitasi. Islam sangat mengatur hubungan pria dan wanita baik dalam aspek ta’awun dan juga hubungan khos yakni pernikahan. Islam menampilkan kehidupan yang mengedepankan kearifan, akhlaq, pengaturan pakaian yang dikenakan atau batasa aurat pria wanita, waktu bertamu, hingga sistem negara yang benar-benar mengatur mekanisme terselenggaranya hubungan lawan jenis.
Terjadinya kohabitasi dikarenakan sistem sekuler yang meniadakan peran agama turut andil dalam mengatur hubungan pria dan wanita. Biaya hidup yang sangat timpang juga memerankan peran dominan, serba berbiaya di negeri sekuler menjadikan salah satu pemicu yang cukup fundamental tergagasnya kehidupan kohabitasi.
Larut dalam sistem sekuler akan memperparah masalah generasi, umat jauh dari akhlaq yang arif dan beriman, malah layaknya binatang melakukan hubungan intim tanpa ada ikatan pernikahan. Sistem sekuler akan semakin menelan banyak korban, memalingkan manusia ke arah pandang yang rusak. Lantas apa jadinya negeri yang mayoritas muslim dengan life style semacam ini?
Telaah kitab Ijtima’iy fil Islam menjabarkan secara konstruktif bagaimana kehidupan sosial negara, hakekat penciptaan pria dan wanita, bagaimana Islam memandang kedudukan wanita, pernikahan sedetail mungkin. Ketika psikolog dihadirkan dengan nuansa solusi sekuler dan solusi tidak mendasar, akan sangat memungkinkan keberlangsungan fenomena tadi dengan tetap terselenggara namun ada komitmen. Berbeda sekali dengan telaah kitab ijtima’iy pernikahan dalam Islam terselenggara dengan dukungan individu yang bertakwa, masyarakat yang mendukung, serta negara sebagai pilar kehidupan yang beradab.
Sebagaimana syariat Islam menghadirkan kehidupan pria dan Wanita, bila memiliki pandangan yang khusus yakni dengan pernikahan. Beberapa aturan Islam dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 1 (tentang penciptaan manusia berpasang-pasangan), Surat Ar-Rum ayat 21 (tentang tujuan pernikahan untuk ketenangan dan cinta), Surat Az-Zariyat ayat 49 (tentang penciptaan segala sesuatu berpasang-pasangan), Surat An-Nisa ayat 21 (tentang perjanjian pernikahan yang kuat), dan Surat An-Nahl ayat 72 (tentang anugerah pernikahan dan keturunan)
Namun, kehidupan Islam yang sempurna hanya akan tersenggara dengan tegaknya Khilafah Islamiyah, dan mencampakkan sekulerisme barat. Untuk itu, revolusi adalah sebuah keniscayaan dengan terhimpitnya tatanan kehidupan sosial, dan revolusi yang paling fundamental dengan menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu A'lam Bishowab