Potensi Besar Gen Z dalam Perubahan Masyarakat
Oleh : Zidna
Demonstrasi belakangan semakin marak, dengan tuntutan yang beragam, mulai dari penurunan harga kebutuhan pokok, peningkatan akses pendidikan, penyediaan lapangan kerja layak, hingga protes terhadap korupsi dan buruknya layanan publik. Meningkatnya tekanan hidup telah mendorong ribuan orang turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Sementara itu, di ranah daring, suara mereka semakin menguat melalui kreativitas Gen Z dalam bentuk meme, poster visual, dan narasi digital.
Psikolog anak dan remaja Anastasia Satriyo, M.Psi., berpendapat bahwa Gen Z memiliki cara unik tersendiri dalam menghadapi tekanan, berbeda dengan generasi sebelumnya (kompas.com, 05/09/2025). Gen Z memilih untuk bersuara dengan cara mereka sendiri yang unik, menggunakan media sosial, meme, poster kreatif, dan estetika visual. Mereka mampu bersuara tanpa harus melakukan tindakan destruktif.
Sementara itu, psikolog Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, menyoroti semakin banyaknya anak di bawah umur yang berpartisipasi dalam demonstrasi. Menurutnya, meskipun demonstrasi dapat menjadi wadah pembelajaran untuk menyampaikan pendapat, remaja rentan terhadap provokasi karena pengendalian diri mereka yang belum matang, sehingga mereka sarat risiko (inforemaja.id, 05/09/2025). Di balik perspektif para psikolog, terdapat persoalan mendasar yang seringkali terabaikan. Klasifikasi karakter Gen Z sesungguhnya lahir dari kerangka kapitalis yang cenderung mereduksi kesadaran politik. Generasi ini dilabeli kreatif, digital, mencintai kebebasan namun emosional dan haus pengakuan, lalu didorong untuk mengekspresikan diri dengan nyaman dalam ranah personal dan kultural, alih-alih struktural dan politis. Fokusnya terbatas pada identitas, citra, dan emosi, sembari menghindari konflik.
Sesungguhnya, sejak awal penciptaan, manusia telah memiliki naluri mempertahankan diri, yang mendorong mereka untuk menolak ketidakadilan dan mendambakan kehidupan yang adil. Demonstrasi bukan sekadar gaya komunikasi khas Gen Z, melainkan manifestasi dari kodrat manusia yang menolak untuk ditindas. Kerusuhan terkait harga pangan, pendidikan, lapangan kerja, dan korupsi berakar pada keinginan untuk melepaskan diri dari ketidakadilan sistemik. Oleh karena itu, analisis para psikolog yang berfokus pada perilaku generasi sangatlah dangkal. Menyebut demonstrasi hanya sebagai ekspresi atau sarana pembelajaran justru mengaburkan fakta bahwa kapitalisme liberal adalah sumber krisis. Narasi psikologis semacam ini justru dapat melanggengkan ketidakadilan.
Tuntutan yang disuarakan masyarakat, termasuk Generasi Z, hendaknya tidak terbatas pada isu-isu pragmatis belaka; tuntutan tersebut membutuhkan solusi fundamental untuk benar-benar memberantas akar ketidakadilan. Artinya, kesadaran politik harus ditingkatkan, bukan diredam dengan narasi-narasi psikologis seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Generasi muda perlu dibimbing untuk memahami bahwa keprihatinan mereka hanya dapat diatasi melalui perubahan sistemik dengan merestrukturisasi cara negara mengelola urusan rakyatnya.
Dari perspektif Islam, manusia telah dikaruniai fitrah dengan karakteristik kemanusiaan, yang harus dipenuhi berdasarkan hukum Islam, bukan sekadar bimbingan psikologis. Kecenderungan alami ini mencakup naluri mempertahankan diri (baqa'), kebutuhan beragama (tadayyun), dan kebutuhan memelihara keturunan (naw'). Ketika ketiga naluri ini terpenuhi oleh syariat Islam, manusia tidak hanya akan bereaksi secara spontan terhadap tekanan, tetapi juga akan menemukan arah yang tepat dalam perjuangannya memberantas ketidakadilan.
Islam juga menyediakan mekanisme untuk menghadapi penguasa yang menindas melalui muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Mekanisme ini bukanlah hal baru, tetapi telah dipraktikkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan dalil yang argumentatif, bijaksana, dan meyakinkan, sebagaimana diperintahkan dalam Al Qur'an Surah An-Nahl ayat 125. Nabi Muhammad SAW bahkan menekankan keutamaan orang-orang yang berani melawan penguasa yang dzalim untuk menyampaikan kebenaran.
Mekanisme ini menekankan bahwa menyampaikan kritik, protes, atau demonstrasi dalam Islam bukan sekadar ungkapan emosi, melainkan bagian dari kewajiban Islam untuk menolak penindasan. Lebih lanjut, sejarah Islam menunjukkan bahwa, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, potensi pemuda telah memainkan peran sentral dalam perubahan fundamental, yaitu perubahan yang menyentuh akar permasalahan secara komprehensif (taghyir). Generasi muda telah muncul sebagai garda terdepan dakwah dan perjuangan. Mereka tidak bereaksi terhadap situasi, melainkan beroperasi dalam kerangka dakwah yang jelas, dipandu oleh wahyu, dan diarahkan pada perubahan sistemik menuju tegaknya Islam yang seutuhnya.
Dengan kata lain, peran pemuda dalam Islam tidak terbatas pada ekspresi kreatif atau tren digital, melainkan diarahkan untuk membangun kesadaran politik sejati yang mengarah pada perubahan sistemik yang adil. Oleh karena itu, apa yang kita saksikan saat ini—demonstrasi di jalanan dan kreativitas digital daring—harus dipahami sebagai potensi besar yang perlu dibimbing oleh Islam. Tanpa bimbingan hukum Islam, potensi ini hanya terbatas pada ekspresi sesaat dan bahkan dapat dimanipulasi oleh sistem kapitalis untuk mematikan kesadaran politik sejati. Namun, jika dituntun oleh Islam, keresahan masyarakat dan keberanian para pemuda akan menjadi kekuatan yang mampu memberantas kedzaliman sampai ke akar-akarnya, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh generasi-generasi sahabat sepanjang sejarahnya.
Wallahu 'alam bisshowab.