Tunjangan DPR: Representasi Rakyat atau Pelestarian Sistem Kapitalistik?
Oleh : Nur Zahra Al-Khoir (Mahasiswi Kalsel)
Tempo (Agustus 2025) mengungkap bahwa anggota DPR RI menerima tunjangan beras mencapai Rp 12 juta per bulan (naik dari sebelumnya sekitar Rp 10 juta), serta tunjangan bensin sebesar Rp 7 juta per bulan . Jika ditambah dengan tunjangan perumahan hingga Rp 50 juta per bulan sebagai pengganti rumah dinas, maka total tunjangan ini mencerminkan kesenjangan tajam antara wakil rakyat dan rakyat jelata.(Tempo(Agustus 2025))
Kapitalisme dan Pemberdayaan: Jargon Tanpa Akar
Dalam sistem ekonomi sekuler kapitalistik, warga negara—termasuk legislator—dengan mudah menerima manfaat finansial besar, sementara kelas bawah kerap disisihkan. Klaim “payout” tunjangan hingga puluhan juta membuat orang bertanya: di mana representasi rakyat?
Rakyat yang membeli beras dari sumber utama bisa merasa terpinggirkan, sementara wakilnya malah diberi “tunjangan beras” super besar. Padahal sistem ekonomi saat ini justru memperkuat oligarki: modal besar, akses istimewa, pengaruh politik, bukan keadilan atau keberpihakan.
DPR: Simbol Perlindungan atau Penjaga Kekuasaan?
Banyak argumentasi bahwa tunjangan semacam itu penting agar anggota DPR bisa fokus bekerja. Namun logikanya menjadi absurd bila fasilitas hidup rakyat pun sering terabaikan. Apakah tujuan utama adalah melindungi representasi demokrasi, atau menjaga kasta elit yang jauh dari kesulitan rakyat?
ICW bahkan menilai tunjangan perumahan sebagai pemborosan anggaran; selama satu periode, anggaran untuk tunjangan saja bisa mencapai Rp 1,36–2,06 triliun . Dalam konteks ini, argumen “demi produktivitas kerja” terasa hampa.
Islam: Sistem Ekonomi yang Adil dan Berbasis Amanah
Dalam paradigma Islam, ekonomi adalah amanah yang mesti mengutamakan keadilan dan kesejahteraan umat—bukan keuntungan segelintir elite. Sistem ekonomi Islam menolak riba dan dominasi oligarki; negara wajib memastikan setiap warga, termasuk wakil rakyat, hidup dalam standar yang wajar dan adil.
Inspirasi nyata dari kehidupan Khadijah RA—seorang pengusaha sukses dan dermawan—menunjukkan bahwa kontribusi perempuan dalam ekonomi bisa dilakukan dengan etika dan keadilan, tanpa retorika semu maupun ketimpangan struktural.
Sistem Sekuler: Akar Ketimpangan yang Tetap Tak Terjamah Agenda “reformasi tunjangan” atau “penyesuaian hidup legislator” tidak pernah menyentuh akar sistem: Elit ekonomi tetap dilindungi, dengan akses ke modal dan kebijakan yang menguntungkan. Rakyat miskin di daerah desa tetap tertinggal, tanpa akses efektif pada pendidikan, modal, atau jaringan yang kuat. "Pemberdayaan rakyat" sering kali hanya simbol, bukan rekayasa sistemik untuk mengubah distribusi kekuasaan dan sumber daya.
Hilangkan Simbolisme, Tegakkan Keadilan Struktural
Jika kita benar-benar ingin DPR menjadi representasi rakyat, bukan mesin kapital yang mahal, kita harus bertanya: Mengapa biaya hidup legislator jauh di atas rasio minimal layak hidup rakyat? Bagaimana menjamin tunjangan semacam ini tidak menjadi mekanisme elit eksklusif? Di manakah kehadiran negara untuk rakyat yang paling membutuhkan—di desa, pasar, gedung sekolah, bukan Senayan?
Islam Menuntut Amanah, Bukan Simbolisme
Islam menempatkan pemerintah sebagai pelayan rakyat, wajib memastikan kebutuhan dasar—seperti pangan, sandang, dan tempat tinggal—terpenuhi dengan adil. Tidak boleh ada status ganda: rakyat menderita, wakil rakyat bersenang-senang.
Perempuan diberi ruang bukan sebagai citra simbol, melainkan sebagai bagian integral upaya membangun masyarakat yang makmur dan adil.
> “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)