Fitrah: Titik Awal Pencarian Jati Diri
H. B. Abdillah
(Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi, Ngaglik, DIY)
Rasulullah SAW. bersabda:
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kemudian, kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menekan bahwa, setiap manusia terlahir dengan keadaan suci. Dalam Islam, kondisi suci ini disebut fitrah—suatu potensi spiritual dan moral yang tertanam dalam diri sejak lahir. Allah menciptakan manusia dengan kodrat memiliki kecenderungan pada potensi kebaikan yang tertanam dalam fitrah ini. Fitrah inilah yang menjadi bekal utama dalam pencarian jati diri. Untuk mengenal sekaligus menyembah Allah, dengan menerima kebenaran Islam.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” (T.QS. Ar-Rum: 30)
Ayat di atas adalah perintah untuk mengakui keesaan Allah SWT, menjalankan agama yang lurus dengan mengajarkan bahwa fitrah adalah titik awal, bukan hasil akhir. Ia ibarat benih yang harus dirawat dan disirami dengan ilmu, iman, dan amal, agar tumbuh menjadi pohon kepribadian yang kokoh. Namun, perjalanan hidup yang penuh ujian dan godaan kadang membuat manusia kehilangan arah dan kebingungan dalam mencari jati diri sejatinya. Maka, mencari jati diri bukan tentang “menjadi orang lain”, tetapi kembali menjadi diri sendiri sebagaimana yang Allah SWT kehendaki.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa, pencarian jati diri harus dimulai dari memahami fitrah ini. Ketika kita mengenal siapa diri kita sebenarnya dan mengakui bahwa kita adalah makhluk ciptaan Allah SWT dengan tujuan mulia. Maka, perjalanan mencari jati diri akan lebih terarah.
Fitrah: Bukan Kosong, Tapi Penuh Potensi
Dalam Islam, manusia tidak terlahir kosong tanpa isi. Seperti konsep "tabula rasa" yang diperkenalkan oleh John Locke seorang filsafat barat pada abad ke-17, dan menjadi dasar bagi pemikiran empirisme. Justru, manusia datang ke dunia membawa kesadaran akan Tuhan, meski tersembunyi dalam jiwa. Karena manusia dianugerahi potensi dasar dan kecenderungan bawaan, yang harus dikembangkan dengan ilmu, iman, dan amal.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’...” (T.QS. Al-A’raf: 172)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa, setiap manusia memiliki kesadaran akan fitrah tauhid terhadap Allah SWT, yang tertanam dalam hati nurani sejak awal keberadaannya. Menjadi sebuah tanda kesaksian bahwa, mencari jati diri adalah upaya mengingat dan kembali kepada asal-usul kita sebagai hamba Allah Yang Maha Esa. Agar manusia tidak lagi beralasan ketika pada hari kiamat, bahwa mereka lalai dan tidak mengetahui keesaan Allah SWT.
Kita telah mengakui keesaan Allah SWT sebelum lahir ke dunia. Maka, fitrah adalah janji kodrati yang terus memanggil kita untuk kembali. Pencarian jati diri sejati adalah upaya mengingat kembali perjanjian ini—bukan hanya mengenal siapa diri kita, tapi juga mengapa kita ada?
Contoh Kisah: Seorang Pemuda yang Ingin Menemukan Jatidirinya
Ada seorang pemuda yang merasa gelisah. Ia memiliki semua hal duniawi—kecerdasan, pengakuan, kekayaan, bahkan popularitas—namun hidupnya tetap merasa kosong. Ia mencoba mencari makna diri dalam pencapaian, dalam pujian, bahkan dalam kesenangan dunia, tetapi semuanya berakhir dengan kehampaan.
Suatu malam, ia duduk sendiri dan berkata, “Siapa aku sebenarnya?”. Dalam kebingungannya, ia membuka mushaf Al-Qur’an yang sudah lama ia tinggalkan. Ayat pertama yang ia lihat adalah:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.”
(QS. Al-Hasyr: 19)
Ayat ini mengingatkan pentingnya orang beriman menyadari kehadiran Allah sebagai Al-Khaliq Al-Hasib, dan bersiap untuk hari akhir, agar tidak tersesat kemudian menyesal. Lalu pemuda itu menangis sejadinya. Ia sadar: lupa kepada Allah adalah awal dari hilangnya jati diri. Sejak malam itu, ia memulai perjalanan spiritual. Ia memperbaiki salatnya, memperdalam ilmu agama, memperbanyak doa. Dan amalannya. Pelan-pelan ia merasa utuh, tenang, damai, dan tahu arah tujuan hidupnya.
Mulai Renungkan Jalan Pulang.
Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan dunia. Banyak orang mencari jati diri di luar—pada tren, validasi sosial, gelar, materi, harapan orang lain, maupun status. Karena dunia menawarkan kesenangan sementara, sehingga banyak manusia yang kehilangan arah dalam hidup dan lupa tujuan akhirnya. Tapi Islam mengajarkan bahwa, jalan pulang dimulai dari dalam. Dari mengenal diri sendiri, dengan mendekatkan diri pada Illahi Robbi, itulah kebahagiaan sejati.
“Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” (Ungkapan hikmah dari ulama terdahulu, beliau Imam Al-Ghazali dalam kitabnya "Al-Munqidz min al-Dalal)
Fitrah adalah petunjuk internal yang, jika dijaga dan dipelihara, akan mengantarkan kita kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Namun jika dikotori oleh dosa, kesombongan, dan kelalaian, fitrah itu akan terkubur, bahkan hancur binasa.
Penegasan: Fitrah adalah Kompas Jati Diri
Pencarian jati diri dalam Islam adalah perjalanan kembali ke fitrah, bukan lari dari siapa diri kita yang sebenarnya. Karena fitrah adalah penunjuk arah untuk mengenal, memahami, dan menjalani kehidupan yang sejati, sesuai dengan tujuan penciptaannya. Oleh karena itu, mari kita jaga fitrah kita dengan:
Pertama, menjaga hubungan dengan Al-Qur’an dan ibadah. Kedua, melakukan muhasabah secara rutin dan berprasangka baik kepada Allah. Ketiga, berada dalam lingkungan yang mendukung nilai-nilai Islam dan Istiqomah dalam beramal saleh.
Pertanyaannya, sudahkah aku menjaga fitrahku? Apakah aku mencari jati diri untuk mendekat kepada Allah SWT, atau justru menjauh dari-Nya? Siapa diriku sebenarnya, jika aku bukan hamba Allah SWT?
Khatimah :
Jati diri adalah inti kepribadian yang mencakup nilai, keyakinan, dan tujuan hidup. Dalam Islam, jati diri berakar pada pengenalan diri dan hubungan dengan Allah Swt.. Maka memahami hakikat jati diri berarti dengan selalu mengevaluasi langkah apa yang harus kita ambil? Sudah benarkah jalan yang kita tempuh selama ini?
Wallahu A'lam bisshawab.
.jpeg)