Palestina ; Ditipu di Meja Diplomasi, Dibantai di Lapangan
Oleh: Miliani Ahmad
Pada Sidang Umum PBB ke-80 September 2025 lalu tercatat 157 negara mendukung deklarasi kemerdekaan Palestina. Termasuk dukungan dari negara-negara Barat yang selama ini enggan mengakui eksistensi Palestina seperti Inggris, Perancis, Kanada, Australia, Belgia, Luksemburg, Portugal, Monako dan Malta. Adopsi Deklarasi New York oleh PBB ini dianggap menjadi legitimasi yang kuat atas kedaulatan Palestina dan tekanan internasional bagi penyelesaian konflik Palestina dan Israel.
Sebelumnya di 25 September 2025 Pemerintahan Qatar menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Darurat Arab-Islam sebagai respon atas serangan zionis ke wilayah Doha pada 9 September 2025 yang menewaskan lima orang anggota Hamas dan satu orang petugas keamanan Qatar. Tujuan dari KTT ini adalah untuk menggalang dukungan dunia internasional serta memobilisasi opini publik untuk menekan zionis dan sekutunya atas serangan brutal yang dilakukan.
Tipu Daya Meja Diplomasi atas Palestina
Janji-janji atas kemerdekaan Palestina dalam berbagai bentuk perjanjian di meja diplomasi nyatanya hanyalah ilusi. Barat mendesain berbagai bentuk perjanjian yang seakan-akan memberikan kebaikan atas Palestina namun nyatanya lebih menguntungkan zionis Israel dan dunia barat itu sendiri. Dalam sejarah panjang perjuangan Palestina untuk melepaskan diri dari cengkeraman zionis sudah berapa banyak kesepakatan yang ditetapkan. Tapi tak satu pun kesepakatan tersebut memberikan jalan terang bagi Palestina untuk merdeka. Rakyat Palestina tetap berada dalam nestapa. Pembantaian demi pembantaian jamak terjadi dan berulang. Sejak awal pendudukan zionis mereka melakukan perlawanan. Di tahun 1987-1993 Intifada pertama meletus. Hal ini dipicu atas kemarahan rakyat Palestina atas pendudukan Israel dan Intifada kedua di tahun 2000-2005.
Mata dunia seakan buta terlebih negara-negara kawasan timur tengah. Meski darah terus mengalir, nyawa hilang satu per satu, bom meletus setiap saat namun tak satupun mereka bergeming dari sikap diamnya. Jika pun bertindak hanya sebatas kecaman dan kesepakatan-kesepakatan terlebih jika itu menyangkut keamanan nasional masing-masing negara. Maka dengan arogansinya Israel dengan mudah menyetir kepentingannya tanpa hambatan. Terlebih sekutunya adalah Amerika Serikat yang merupakan ibu kandungnya dan PBB merupakan bidan yang melahirkannya.
Dunia internasional hendaknya segera menyadari bahwa pengakuan atas kedaulatan Palestina tidak akan pernah terwujud dalam kepimpinan kapitalisme saat ini. Sejarah telah mencatat jalan panjang untuk Palestina merdeka di meja diplomasi selalu berakhir dengan penjarahan atas Palestina.
Menilik panjangnya jalan Palestina mendapatkan kedaulatannya dengan beribu janji diplomasi sejatinya semakin mengokohkan eksitensi kaum zionis itu sendiri. Mereka secara jelas mendapatkan pengakuan dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dimana PLO mengakhiri penggunaan kata terorisme untuk Israel dan memberi hak Israel untuk hidup dengan damai. Di samping itu juga diplomasi-diplomasi yang berjalan menjadikan kondisi Palestina makin terpecah belah, melanggengkan pendudukan dan semakin luasnya permukiman ilegal.
Two Nations State, Teater Diplomatik yang Dimainkan
Gagasan Two Nations State ini pertama kali dicetuskan oleh Komisi Peel Inggris pada tahun 1937 yang kemudian diformalkan dalam Resolusi Umum PBB Tahun 1947. Perjanjian Oslo pertama memberikan dorongan pada solusi ini dan menghasilkan pembentukan Otoritas Palestina. Dalam kacamata politik internasional saat ini, solusi dua negara ini dianggap akan mengakhiri konflik Israel-Palestina dengan menyediakan wilayah negara Palestina di sebagian atau seluruh wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerussalem Timur, sementara Israel meiliki wilayah dan perbatasan yang telah ada.
Pertanyaannya bagaimana mungkin, pencaplok dan perampas tanah Palestina bisa dilegalkan menjadi sebuah negara di atas tanah tersebut? Semua ini tak terlepas dari kekuatan global yang menyokong pendirian negara zionis seperti Inggris, AS, perancis dan Negara Barat lainnya serta pengkhianatan yang dilakukan oleh para penguasa negeri muslim. Inggris dalam Deklarasi Balfour tahun 1917 mengumumkan dukungannya terhadap pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di Palestina. Di tahun-tahun berikutnya kesepakatan demi kesepakatan terus berjalan yang entry point nya semakin mengokohkan eksistensi zionis di tanah Palestina. Konsep two nations state tetap menjadi ruh utama dalam kebijakan yang dijalankan.
Dalam KTT internasional di markas PBB pada bulan Juli 2025 lalu yang diketuai Arab Saudi dan Perancis membahas tentang pentingnya menetapkan langkah yang konkret untuk mewujudkan solusi dua negara. Dalam kacamata ideologi yang sahih, langkah ini hanyalah dalih untuk mengalihkan kemarahan internasional dalam genozida yang terjadi di Gaza serta memperkuat posisi zionis itu sendiri. Tak heran, dalam kondisi yang masih berdarah-darah dan pelaparan sistematik atas Gaza, PBB dan lebih dari 150 negara secara de facto mengakui negara Palestina di September 2025 lalu. Inilah tipudaya politik yang dilakukan mereka untuk membebaskan pemerintahan Barat dari keterlibatan dalam genozida di Gaza. Dan langkah untuk menormalisasi dan melegitimasi keberadaan Israel di kawasan tersebut.
Kembalinya Kemuliaan Palestina
Dalam kitab Syakhsiyyah Islamiyyah jilid 2, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa status tanah Palestina adalah tanah kharajiyah. Tanah ini adalah tanah yang dibebaskan dengan kekuatan militer dan kaum muslim secara paksa dan diserahkan kepada pemiliknya yang pertama dan tidak dibagi-bagikan kepada mereka yang berperang.
Dalam kepemimpinan Islam, pertama kali tanah Palestina dibebaskan pada tahun 15 H oleh khalifah Umar bin Khattab r.a. Kemudian tanah tersebut dibebaskan lagi pada tahun 583 H tepatnya di tanggal 27 Rajab oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Maka secara konteks historisnya tanah ini merupakan tanah milik umat Islam. Tidak ada hak bagi umat lain untuk menguasainya apalagi sampai merebut secara paksa dalam bentuk genozida sistemik.
Berharap kepada jalan diplomasi untuk penyelesaian masalah Palestina tidak akan memberikan hak Palestina sebagaimana mestinya. Ini adalah tipu daya kaum kafir untuk menganeksasi dan melegitimasi keberadaan zionis di tanah tersebut. Dari awal kemunculannya Israel terus menerus berupaya mempersempit wilayah Palestina dengan membangun permukiman massal yang berkelanjutan. Maka adalah sebuah Ilusi jika mengharapkan jalan diplomasi untuk menguzir zionis dari tanah kaum muslim.
Untuk itu dalam syariat agama kita, jika musuh sudah masuk dan mengoyak-ngoyak kemuliaan kaum muslim maka umat harus bertindak dengan mengobarkan jihad fii sabilillah. Jihad disini yang dimaksud adalah al-qital (perang) bukan al-kifah (perjuangan). Jihad ini wajib dilaksanakan meskipun institusi pemerintahan Islam (khilafah) belum berdiri. Sebab jihad adalah kewajiban yang bersifat mutlak dan tanpa syarat. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Syakhsiyyah Islamiyah jilid II menjelaskan,
“Jihad itu kefardhuan (kewajiban) yang bersifat mutlak, tidak terikat (muqayyad) dengan sesuatu, begitu juga tidak disyaratkan dengan sesuatu, jadi ayat mengenai jihad itu bersifat mutlak.”
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni juga menjelaskan :
“Jika Imam (khalifah) tidak ada, maka jihad tidak boleh ditunda, karena kemaslahatan jihad akan lenyap dengan penundaan jihad itu, dan jika diperoleh ghanimah (harta rampasan perang) maka orang yang berjihad itu membagikannya sesuai ketentuan yang diwajibkan oleh hukum-hukum syara’.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 10, hal.375)
Namun demikian, meskipun keberadaan khalifah bukanlah syarat untuk kaum muslim melaksanakan jihad, namun saat keberadaannya terwujud khalifahlah yang akan melakukan pengaturan dalam urusan jihad. Khalifah akan mengatur mobilisasi pasukan dan mengkoordinirnya agar di lapangan tidak terjadi over lapping dan benturan. Untuk itu umat wajib menaati khalifah agar mengikuti arahannya. Keberadaan imam (khalifah) ini akan menjadikan urusan jihad semakin meningkat baik secara kuantitas dan kualitasnya. Khalifah akan mengomando pasukan dan menghimpun seluruh kekuatan tentara dan kaum muslim baik dalam bentuk tentara reguler maupun cadangan.
Dengan kekuatan jutaan personel tentara aktif yang dimiliki negeri-negeri muslim saat ini bukanlah hal yang sulit untuk mengusir zionis dari tanah Palestina. Hanya saja problem utamanya adalah masalah kesatuan umat. Umat masih tercerai berai dalam sekat nasionalisme, pengkhiatan penguasa-penguasa negeri muslim dan hegemoni kekuasaan orang-orang kafir itu sendiri.
Wahai umat, bangunlah! Bangkitlah! Jangan terlalu lama kita tertidur karena pekatnya peradaban rusak saat ini. Jangan percaya terhadap janji-janji palsu di balik tameng diplomasi. Bersatulah! Berjuanglah! Wujudkan Satu risalah, satu tujuan dan satu umat dalam kepimpinan Khilafah Islamiyah. Palestina menunggu kita. Jangan sampai hisab menanti kita akibat diam dan enggannya kita dalam perjuangan ini. Rapikan barisan, kokohkan ikatan. Allahu akbar!
Wallahua’lam bish-showwab
