Pemberdayaan Ekonomi Perempuan, Akankah Menjadi Solusi Paripurna?

 



Oleh : Shafiyah Al-Ghaziyah (Aktivis Muslimah Kalsel)


Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) kembali menunjukkan komitmennya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program peningkatan kemampuan usaha keluarga. Program ini menyasar ratusan perempuan dan mencakup pelatihan kewirausahaan, pemberian bantuan peralatan usaha, serta pendampingan usaha kecil dan menengah (UKM). Tujuan utamanya adalah menciptakan sumber penghasilan tambahan bagi keluarga, terutama di tengah tekanan ekonomi yang semakin kompleks dan meningkatnya kebutuhan hidup sehari-hari.


Ada sekitar 100 perempuan dari kader PKK kabupaten dan kecamatan, perwakilan kelompok PKK desa/kelurahan, serta pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mengikuti kemampuan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Tujuan adanya sosialisasi ini untuk memberikan pengetahuan, pemahaman, serta motivasi kepada kader PKK dalam mengembangkan usaha keluarga. (AntaraKalsel, 12/9/2025)


Adapun upaya ini secara kasat mata tentu merupakan upaya yang patut diapresiasi. Memberikan pelatihan dan modal usaha kepada perempuan membuka peluang bagi mereka untuk lebih mandiri secara ekonomi. Di saat yang sama, ini juga mencerminkan adanya strategi dari pemerintah daerah dalam rangka mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan pendapatan keluarga. Perempuan yang biasanya hanya dianggap sebagai penopang domestik, kini mulai dilibatkan sebagai aktor utama dalam lini usaha produktif. Artinya, ada pengakuan bahwa perempuan memiliki potensi besar yang bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.


Namun demikian, di balik manfaat yang tampak, pendekatan pemberdayaan seperti ini ketika berada dalam bingkai paradigma sekuler kapitalisme, nyatanya menyimpan sejumlah kelemahan yang mendasar. Salah satu yang paling nyata adalah bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia usaha seringkali bukan didasarkan pada pilihan bebas atau pemenuhan potensi diri, melainkan lebih pada dorongan karena keterpaksaan ekonomi. Dengan meningkatnya biaya hidup, lemahnya akses masyarakat terhadap pekerjaan yang layak, serta minimnya jaminan sosial dari negara, perempuan akhirnya terdorong untuk turut menanggung beban ekonomi keluarga bahkan negara.


Perubahan ini secara tidak langsung telah menggeser peran utama perempuan dalam keluarga. Dalam paradigma sekuler yang menjadikan capaian materi sebagai tolok ukur utama keberhasilan, perempuan kini lebih dihargai dari sisi kontribusi ekonominya ketimbang peran mendasarnya sebagai pendidik generasi dan pengatur rumah tangga. Akibatnya, terjadi distorsi peran yang berdampak pada pendidikan anak, keharmonisan keluarga, hingga stabilitas sosial.


Sedangkan, Islam memandang persoalan ini secara lebih menyeluruh dan mendalam. Dalam Islam, kewajiban mencari nafkah adalah tanggung jawab laki-laki, khususnya suami, bukan istri. Negara dalam sistem Islam berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang cukup, memastikan kebutuhan dasar rakyat tercukupi, serta menjamin kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan kepemilikan umum dan sumber daya alam yang adil. Dengan begitu, perempuan tidak harus ikut bekerja karena tuntutan ekonomi, melainkan bisa menjalankan peran utama sebagai ummu wa rabiyatul bayt dalam keluarga tanpa tekanan finansial (ekonomi).


Islam juga tidak menutup ruang bagi perempuan untuk beraktivitas di luar rumah, termasuk dalam dunia usaha. Namun aktivitas tersebut harus tetap dalam batasan syariah Islam dan tidak boleh mengganggu atau mengabaikan tanggung jawab utama dalam keluarga. Perempuan boleh berwirausaha, bekerja, atau berkarya di ruang publik, selama hal itu dilakukan dengan adab dan sesuai syariah Islam yang menjaga kehormatan dan peran utamanya.


Berbeda dengan sistem sekuler yang menyerahkan urusan ekonomi pada mekanisme pasar bebas dan peran individu semata. Sistem Islam yang diterapkan dalam kerangka khilafah menyediakan struktur yang lebih kokoh dan berkeadilan. Negara mengelola sumber daya seperti energi, tambang, dan lahan produktif untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan segelintir elite korporat. Distribusi kekayaan dilakukan secara adil, sehingga kesenjangan ekonomi bisa ditekan dan beban kehidupan tidak hanya ditanggung oleh individu atau keluarga, tetapi menjadi tanggung jawab bersama dalam tatanan negara.


Dengan adanya jaminan kesejahteraan dari negara, perempuan tidak dipaksa untuk mencari tambahan penghasilan. Mereka dapat fokus menjalankan perannya dalam mencetak generasi yang bertakwa, berkualitas dan produktif dalam membangun peradaban Islam. Perempuan dalam Islam bukan hanya pilar keluarga, tetapi juga benteng moral masyarakat dan negara. Oleh karena itu, negara dalam sistem khilafah Islamiyah akan senantiasa menjaga, melindungi, dan memuliakan perempuan sesuai kedudukannya yang hakiki.


Maka, demikianlah adanya program pemberdayaan tersebut mengambarkan bahwa langkah ini memang menunjukkan adanya kepedulian terhadap ketahanan ekonomi rumah tangga. Namun jika tetap berada dalam kerangka sekuler dan kapitalistik, program ini hanya menjadi solusi pragmatis yang sementara dan superfisial. Tanpa perubahan sistemik, pemberdayaan ini justru berisiko memperburuk tekanan peran terhadap perempuan dan menambah beban ganda yang bisa melemahkan fondasi keluarga bahkan negara.


Islam melalui sistem khilafah Islamiyah menghadirkan solusi yang lebih menyeluruh dan berakar pada keadilan sejati. Kesejahteraan keluarga tidak hanya didekati dari sisi ekonomi, tetapi juga dari dimensi moral, sosial, dan akidah. Dengan menempatkan perempuan pada posisi yang mulia dan sesuai fitrahnya, serta menjadikan negara sebagai pelindung dan penjamin kehidupan. Maka inilah solusi Islam bagi permasalahan ekonomi keluarga dan peran perempuan di masyarakat. Wallahu 'alam Bishawab. [].

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel