Sudan Merana Hanya Islam yang Mampu Menolong
Oleh: Shofa Marwah
Belum terhenti darah tertumpah di Gaza, dunia dikejutkan oleh berita genosida di Sudan. Konflik antara Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dari militer Sudan (SAF) dan Letjen Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti dari pasukan Rapid Support Forces (RSF) menjadi perang besar di sejumlah wilayah. Pada 26 Oktober 2025, Al-Fasher, ibu kota negara bagian Darfour Utara daerah barat Sudan, menjadi saksi pembantaian 2.227 rakyat sipil tidak berdosa dan pengusiran 393 ribu warganya.
Peristiwa ini adalah puncak krisis yang sudah berlangsung lama dan situasinya lebih mengerikan. Selama pengepungan, 1,2 juta penduduk kota dibiarkan kelaparan. Tidak sedikit kaum perempuan yang dirudapaksa sebelum dibunuh bersama anak-anak mereka. Kaum laki-lakinya, tua maupun muda, disiksa dengan kejam, digantung di tempat-tempat umum, lalu ditembak secara massal.
Sejatinya benih Konflik yang terjadi di Sudan adalah rekayasa Inggris. Setelah berkuasa di Sudan pada tahun 1882, Inggris mempertahankan kekuasaannya dengan melakukan taktik klasik: devide et impera (adu domba dan kuasai), baik secara etnis maupun agama. Komunitas yang lebih “Arab” di utara diberdayakan atas komunitas yang lebih “Afrika” di barat dan selatan. Pemerintah Inggris membagi negara itu menjadi dua wilayah yang berbeda: Sudan Utara dan Selatan.
Pemisahan dua wilayah ini jelas ditujukan untuk membatasi pengaruh agama, ekonomi, budaya, dan politik Islam dari utara. Dampaknya, kebijakan ini menciptakan jurang pemisah yang mendalam, baik dalam aspek politik, sosial, budaya, dan agama di antara kedua wilayah tersebut.
Ambisi Inggris untuk menguasai penuh Sudan sejatinya sangat mudah dipahami. Sudan terutama bagian selatan adalah negeri dengan sumber daya melimpah ruah. Cadangan minyak bumi, gas alam, dan emasnya sangat signifikan. Negara ini pun kaya akan mineral industri seperti bijih besi, tembaga, kromit, mangan, gipsum, seng, bahkan uranium.
Sejak tampil sebagai pemimpin kapitalisme global, AS tentu tidak ingin membiarkan Inggris menjadi saingan. Berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan pengaruh politik Inggris dan anteknya di kawasan jajahannya, termasuk di wilayah Sudan.
Terbaru, AS berupaya mengikat negara-negara tersebut dengan perjanjian Abraham Accord yang intinya menormalisasi hubungan mereka dengan Zion*s Israel mengikuti Mesir dan Yordania. Negara yang sudah berhasil diikat adalah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Motifnya sangat jelas, yakni penguasaan sumber daya alam dan merealisasikan mimpinya membangun hegemoni politik di bawah tagline Proyek Timur Tengah Baru dengan menjadikan negara Zion*s Israel sebagai jangkar.
Apalagi AS melihat bahwa dari rahim krisis Sudan telah lahir faksi-faksi Islam yang menyuarakan penerapan syariat Islam, bahkan beberapa rezim pemerintahan memang secara formal menjadikan Islam sebagai UUD.
Amerika Serikat juga Inggris mempunyai kepentingan politik yang sama di Sudan. AS memainkan isu terorisme dan radikalisme untuk mencegah kebangkitan Islam. AS juga memecah-belah wilayah Sudan dan mengadu-domba berbagai kelompok militer, suku dan agama di sana. Tujuannya untuk melemahkan kekuatan kaum Muslim Sudan.
Sebagaimana Gaza, rakyat Sudan tengah mengalami penderitaan luar biasa. Mereka menjerit meminta tolong kepada kita saudara muslimnya. Mereka nyaris putus asa berharap pada para penguasa muslim dunia yang hanya peduli pada kursi kekuasaannya. Ironinya, para pemimpin Muslim hari ini justru bersekongkol dan menyokong negara-negara Barat penjajah dalam menyembelih kaum Muslim.
Oleh karena itu, umat Islam semestinya sadar bahwa posisi mereka tidak akan pernah berubah kecuali kembali pada Islam. Mereka akan sulit menolong kaum muslim Gaza, Palestina, muslim Sudan, India, Rohingya, Uighur, dan yang lainnya, sebelum bersatu di bawah naungan kepemimpinan politik Islam. Mereka akan sulit berharap kembali menjadi umat yang kuat dan mampu melawan kezaliman global yang ditimbulkan oleh negara-negara Barat, jika mereka tidak kembali punya negara global yang bervisi global, yakni Khilafah Islam.
