TREND JOB HUGGING, KAPITALISME GLOBAL TERPELANTING
Oleh: Nur Fazilah, S.Si (Praktisi Pendidikan)
Fenomena job hugging sedang melanda generasi Z saat ini. Job hugging adalah dimana seorang pekerja bertahan pada pekerjaannya bukan karena loyaliytas terhadap instatnsi atau perusahaan namun karena ada rasa ketakutan atau kekhawatiran disebabkann kondisi ekonomi saat ini. Pasar pekerja memburuk ditambah dengan angka persaingan juga semakin ketat. Sehingga angka pengangguran pun semakin meningkat. Tak jarang ditemukan dari lulusan sarja hingga magister terperangkat dalam pengangguran.
Kemenperin pemerintah mengeklaim bahwa industri manufaktur berhasil menyerap lebih dari 1 juta tenaga kerja sepanjang 2024. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan jumlah PHK yang dilaporkan oleh Kemenaker, yaitu sekitar 77.965 orang pada tahun yang sama. Namun, data BPS menunjukkan bahwa jumlah pengangguran pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang, meningkat dari 7,20 juta orang pada Februari 2024. Selain itu, kasus PHK juga meningkat sebesar 20,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya validitas klaim pemerintah itu sangat meragukan. Apalagi angka PHK yang dilaporkan resmi tidak mencakup seluruh kasus yang terjadi, terutama di sektor informal. Ditambah lagi dengan budaya asal bapak senang (ABS) yang masih menjangkiti negeri kita. Demi mengambil hati atasan, apapun bisa dimanipulasi, termasuk data pengangguran.
Kepercayaan diri yang berlebihan dari pemerintah terkait kondisi ekonomi negara secara alami juga mengantarkan pada kesalahan analisis akan akar masalah yang sebenarnya. Sebagai contohnya, Kemenaker mengungkap dua tantangan utama masalah pengangguran di Indonesia adalah pekerja industri yang tergantikan oleh mesin dan kemampuan warga bergerak mencari kerja (agility).
*Job Hugging adalah Buah Sistem Kapitalisme*
Dalam kapitalisme, negara tidak terlibat langsung dalam menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja. Akibatnya, keberlangsungan hidup pekerja bergantung pada mekanisme pasar, semisal:
1. Upah ditentukan berdasarkan penawaran dan permintaan tenaga kerja. Dalam kapitalisme, upah ditetapkan berdasarkan standar dan kebutuhan hidup paling minimum dari masyarakat. Dengan penetapan seperti ini, upah pekerja tidak akan memberikan keadilan dan kesejahteraan hidup. Meski mendapat upah tinggi, itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan minimum hidup mereka. Di wilayah yang taraf hidupnya tinggi, upah tinggi belum menjamin kesejahteraan hidup. Boleh jadi pendapatan tinggi, tetapi pengeluaran juga tinggi karena harga barang dan jasa lebih mahal dibandingkan wilayah yang taraf hidupnya rendah.
2. Pekerja harus bersaing satu sama lain demi mendapat lapangan kerja yang tersedia di pasar.
3. Pekerja harus bergantung pada perusahaan untuk mendapatkan penghasilan sehingga mereka kerap terjebak dalam tuntutan dan kebutuhan perusahaan.
4. Risiko pengangguran di depan mata karena keberlangsungan pekerja bergantung pada situasi ekonomi.
Akibatnya, pekerja menjadi rentan tereksploitasi tenaga, waktu, dan pikirannya demi mempertahankan bisnis dan kehidupan para pemilik modal dari perusahaan yang mereka jalankan. Negara hanya bertindak sebagai regulator, yakni menetapkan regulasi dan kebijakan yang pro kapitalis (pemilik modal) dan sebagai fasilitator yang memudahkan asing atau swasta terlibat dalam penciptaan lapangan kerja.
Negara juga tidak memberikan jaminan dalam kebutuhan dasar individu dan publik sehingga nasib pekerja jauh dari sejahtera. Jadilah job hugging menjadi pilihan realistis yang terpaksa dilakukan.
Bagi rakyat, mendapat kesejahteraan dari negara seperti pungguk merindukan bulan. Rakyat hopeless, negara powerless, yang girang kapitalis. Rakyat hopeless karena sistem kapitalisme tidak memberikan jaminan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Negara powerless karena mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pengurus rakyat (raa’in). Padahal, menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi rakyat adalah kewajiban negara.
*Peran Negara dalam Islam*
Di dalam Islam, negara adalah pengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam itu adalah pemimpin dan dia diminta pertanggungjawaban atas orang yang ia pimpin.”(HR Bukhari dan Muslim).
Di antara urusan penting yang termasuk bagian dari tugas riayah (pengurusan) negara adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara yang memiliki kemampuan, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan. Bahkan, nafkah atas orang fakir yang tidak memiliki kerabat yang mampu menafkahinya menjadi tanggung jawab negara.
Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw., “Siapa saja yang meninggalkan harta, itu adalah hak ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang lemah (yang tidak punya anak maupun orang tua), itu adalah urusan kami.” (HR Bukhari dan Muslim). (Muqaddimah ad-Dustur, Pasal 153)
Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Selain itu, negara juga wajib menanggung nafkah orang-orang tidak mampu jika tidak ada kerabat yang sanggup memberinya nafkah. Dalam pengertian syariat, orang yang tidak mampu diartikan sebagai orang yang secara fisik benar-benar tidak mampu bekerja atau orang yang tidak mendapat pekerjaan yang dari pekerjaan itu ia bisa memperolah nafkah.
Syariat menjamin seluruh kebutuhan dasar mereka berdasarkan dalil-dalil tersebut. Caranya dengan mewajibkan suami dan ahli waris memberi nafkah kepada wanita secara mutlak dan orang yang tidak mampu secara hakiki atau secara hukum. Kemudian, jika mereka tidak ada, atau ada tetapi tidak mampu, kewajiban itu diserahkan kepada baitulmal, yakni negara.
Dalam negara Khilafah, fenomena job hugging, risiko pengangguran, serta PHK massal dapat dicegah melalui kebijakan berikut:
Pertama, mengelola sumber daya alam yang terkategori milik umum, termasuk tambang. Islam melarang menyerahkan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta. Dengan aturan ini, negara dapat membangun industri strategis, semisal pengilangan minyak, pengelolaan tambang, alutsista, pertanian, dan sebagainya yang memungkinkan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Penyediaan lapangan kerja dalam industri strategis juga akan mendorong masyarakat meningkatkan keterampilan dan kemampuannya.
Kedua, menerapkan syariat ihyaul mawat, yaitu meghidupkan tanah mati yang berarti mengelola tanah tersebut dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dikelola (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An–Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 273). Negara dapat memberikan status tanah mati, yaitu tanah yang telah ditelantarkan pemiliknya kepada siapa saja yang dapat mengelola dan menanaminya sehingga produktivitas masyarakat akan tumbuh seiring kebijakan ini.
Rasulullah ï·º bersabda, “Barang siapa menghidupkan tanah mati (membuka lahan baru), tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa usaha untuk mengubah tanah yang tidak produktif menjadi produktif akan membawa keberkahan dan tanah tersebut menjadi milik siapa yang berusaha.
Ketiga, memberi tanah produktif bagi rakyat yang membutuhkan untuk bertani/berkebun (iqtha’). Iqtha’ adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan layak ditanami. Kebijakan ini dapat mengatasi angka pengangguran dan membuat rakyat lebih produktif bekerja.
Keempat, mendorong individu bekerja. Negara dapat memberikan modal berupa hibah atau pinjaman tanpa riba agar rakyat dapat memulai usahanya. Negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan agar mereka dapat bekerja pada beragam jenis industri dan pekerjaan.
Dengan mekanisme ini, negara dapat menjamin pekerjaan dan kebutuhan hidup masyarakat secara adil. Semua ini hanya dapat dilakukan dengan diterapkannya sistem Islam kafah di bawah naungan negara Khilafah.
