Kekerasan di Sekolah dan Hilangnya Arah Pendidikan Oleh
Ahyani R (Aktivis Muslimah)
“Anak yang terus disakiti akan belajar menyakiti.” Pernyataan ini bukan sekadar kalimat puitis, tapi cermin retak yang memantulkan kenyataan di dunia pendidikan kita. Beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan oleh rangkaian kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuhnya generasi.
Pada Jumat 7 November 2025 terjadi ledakan di dalam dan sekitar Masjid SMA Negeri 72 Jakarta. Hal itu terjadi saat salat Jumat dan melukai puluhan siswa. Polisi pun mengamankan seorang siswa berusia sekitar 17 tahun sebagai tersangka. Terungkap bahwa ia membawa sejumlah peledak rakitan dan terdapat indikasi ia sering menjadi korban perundungan atau bullying di lingkungan sekolah.
Tragisnya, peristiwa serupa juga terjadi di Aceh Besar dengan latar belakang yang hampir sama. Seminggu sebelumnya pada dini hari Jumat 31 Oktober 2025, asrama putra di pesantren Babul Magfirah dibakar oleh seorang santri yang masih di bawah umur. Sang santri disebut sengaja membakar asrama lantaran sakit hati karena kerap menjadi korban bullying oleh rekan-rekannya. (Beritasatu.com/8/11/2025).
*Membuat Wajah Pendidikan Indonesia Kian Kelam*
Rangkaian fakta ini menuntut pertanyaan serius: apa yang salah dengan sistem pendidikan kita hingga gagal mencetak generasi berkarakter kuat? Tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 yaitu mencetak manusia beriman, berakhlak mulia, cerdas, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab, terasa jauh dari kenyataan. Sistem pendidikan justru terseret arus liberalisasi dan kapitalisasi, bergerak tanpa arah jelas.
Fokus yang berlebihan pada capaian akademik, tanpa membentuk karakter dan iman, melahirkan generasi kehilangan arah dan kendali diri. Siswa dituntut prestasi tinggi, namun tidak dibekali fondasi ruhiyah yang meneguhkan jati diri sebagai hamba Allah. Paradigma sekularisme yang memisahkan agama dari pendidikan mendorong lahirnya individu sekuler, liberal, dan materialistis, unggul secara ilmu, tetapi lemah akhlak. Fenomena “kriminal berpendidikan” menjadi bukti nyata.
Budaya kompetitif, individualistik, dan materialistis, produk sistem sekuler kapitalistik, semakin menjauhkan sekolah dari fungsinya membina empati dan moral. Secara fisik kehidupan mungkin terlihat maju, tetapi secara hakikat jauh dari kemuliaan karena standar moral ditentukan oleh nalar manusia yang terbatas. Pendidikan justru berpotensi memperkuat kerusakan dengan melahirkan generasi yang kehilangan tujuan hidup, rapuh mentalnya, sempit pikirannya, dan mudah dimanfaatkan kepentingan global, termasuk oleh kapitalis yang ingin mempertahankan dominasi atas negeri-negeri Muslim.
*Kesadaran Kritis yang Diperlukan Umat Islam*
Berbeda dengan Islam, pendidikan bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi kewajiban negara untuk membentuk generasi yang beriman, berilmu, dan berkepribadian Islami. Tujuannya jelas: melahirkan insan yang berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai Islam sekaligus memiliki kecerdasan tinggi untuk memimpin peradaban yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi semua rakyat tanpa diskriminasi, karena menuntut ilmu adalah hak setiap individu sekaligus kewajiban kolektif umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah).
Pendidikan Islam berjalan selaras dengan sistem lain yang berlandaskan syariah: ekonomi untuk menjamin pembiayaan, sistem sosial dan media untuk menciptakan lingkungan bersih dari kriminalitas dan gaya hidup bebas, serta politik untuk memastikan kebijakan negara berorientasi pada kemaslahatan umat, bukan kepentingan oligarki.
Dukungan sistem yang terpadu ini memungkinkan lahirnya generasi ulul albab, pemikir, pejuang, dan pemimpin peradaban. Mereka menguasai ilmu dan teknologi, tetapi juga menegakkan keadilan, beribadah kepada Allah, dan mengelola bumi sesuai kehendak-Nya. Pendidikan Islam mampu melahirkan generasi seperti para sahabat dan ilmuwan terdahulu cerdas, bersih hati, dan berani menegakkan kebenaran.
Dengan demikian, pendidikan Islam bukan sekadar alternatif, melainkan satu-satunya jalan untuk mencetak generasi unggul dan membangun kembali peradaban Islam yang adil dan penuh keberkahan. Inilah yang mesti disadari oleh umat Islam kembali pada sistem pendidikan yang membentuk manusia sesuai visi penciptaanya yakni untuk beribadah kepada Allah SWT, yang bisa terwujud hanya dengan penerapan Islam secara kaffah. Wallahu’alam bishshawab.
.jpeg)