Konten Negatif Bertebaran, Anak Butuh Perlindungan!

 


Oleh: Indah Puspasari, S.E (Aktivis Dakwah Jogja)


Ruang digital semakin mengkhawatirkan. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkapkan bahwa ada sebanyak 596.457 konten pornografi yang telah ditangani sepanjang tahun 2024-2025. Hal ini sejalan dengan data terbaru dari United Nations Children's Fund (UNICEF) yang menunjukkan rata-rata anak di Indonesia mengakses internet selama 5,4 jam per-hari dan 50 persen diantaranya telah terpapar konten dewasa (Kompas.com, 06/12/2025). 


Kekhawatiran dari aktivitas penggunaan internet ini masih ditambah dengan banyaknya anak dan remaja yang mengalami kejahatan perundungan online (cyber bullying) hingga berpengaruh pada kondisi ruhiyah mereka. Tak cukup sampai di situ, mental dan perilaku anak hari ini juga tergerus oleh tontonan gaya hidup bebas tak bermoral yang justru banyak dicontohkan oleh beberapa influencer ternama. Banyaknya konten pornografi, cyber bullying, dan pengaruh gaya hidup bebas ini tentu menjadikan sosial media sebagai "mainan" anak yang patut diwaspadai. Terlebih konten-konten tersebut sangat mudah diakses sehingga dapat mendorong anak untuk meniru apa yang mereka lihat. Lebih jauh lagi, muara terakhirnya dapat mengarah pada tindak kriminal dan kerusakan lain yang mengerikan. 


Menyadari besarnya potensi bahaya dari berbagai konten yang muncul di sosial media, Komdigi menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) untuk membatasi anak dan remaja dalam mengakses konten-konten tertentu. Namun hal ini perlu ditinjau kembali, apakah kebijakan tersebut benar-benar bisa menjadi perisai untuk melindungi anak dan remaja hari ini? 


Perlu dipahami, sosial media bukanlah akar masalah dari rusaknya generasi saat ini. Masalah yang sesungguhnya adalah menjamurnya pengaruh sekularisme-kapitalisme yang mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat di dunia nyata maupun maya. Dalam pengaruh sekularisme-kapitalisme, masyarakat lebih leluasa dalam menyebarkan konten tak bermutu dengan "kemasan" yang lebih menarik. Tak heran, banyak ditemukan content creator yang berani membuat konten maksiat dengan gaya hidup bebas dan melanggar syariat untuk mengekspresikan pribadi mereka. Belum lagi, konten-konten tersebut justru mendapat ribuan like, share, dan respon yang positif di kolom komentar. Semakin banyak peminat atau respon dari sebuah konten, semakin besar eksposur yang didapatkan. Tidak peduli apakah konten tersebut mengarah pada kerusakan ataupun kebaikan. Selama memiliki banyak peminat, hal ini akan dipandang sebagai pasar digital yang mendatangkan keuntungan bagi pembuatnya.


Sosial media adalah produk (madaniyah) dari kemajuan teknologi yang bekerja membentuk trend sesuai fenomena yang terjadi di masyarakat. Ketika kehidupan masyarakat di dunia nyata masih dipengaruhi oleh sistem sekularisme-kapitalisme, sosial media akan digunakan sebagai alat untuk menyebarkan nilai-nilai sekuler, kapitalis, dan liberalis yang banyak mendatangkan pengaruh negatif di tengah umat.


Pembatasan akses terhadap konten-konten tertentu melalui kebijakan PP Tunas bukanlah solusi yang menuntaskan akar permasalahan. Kebijakan ini hanya menjadi solusi pragmatis yang berkutat pada hal-hal teknis. Selama pola pikir dan perilaku masyarakat masih dikuasai oleh pengaruh sekularisme-kapitalisme, kerusakan di dunia nyata maupun maya akan terus berulang dengan seribu teknis yang lain. 


Oleh karena itu, pengikisan pengaruh sistem sekularisme-kapitalisme adalah hal mutlak yang harus dilakukan oleh negara untuk melindungi masyarakat dari paparan konten atau tontonan yang merusak. Sebagai gantinya, penerapan Islam yang kaffah dalam sebuah negara akan membentuk pola pikir dan perilaku generasi yang lebih mulia. Keimanan dan ketakwaan kepada Allah menjadi landasan masyarakat dalam menggunakan sosial media, membuat konten, dan mengakses tontonan.


Ruang digital dalam negara yang menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan akan menyeleksi konten-konten tak bermutu sehingga minim eksposur. Sosial media akan dimanfaatkan sebagai ruang dakwah untuk membentuk masyarakat yang bermoral dan berkepribadian Islami. Anak dan remaja juga lebih terjaga dan terlindungi dari konten-konten yang merusak. Mereka akan tumbuh sebagai generasi cemerlang yang bisa mendorong perubahan untuk umat. Semua ini hanya terwujud dalam sistem pemerintahan Islam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel